Senin, 01 November 2010

Reproduksi Karang


i
 Imam Bachtiar
Pusat Penelitian Pesisir dan Laut (P3L), Universitas Mataram,
Email: ibachtiar@gmail.com
Sebagian dari tulisan ini dipublikasikan di: Bachtiar, I. (2003). Reproduksi seksual karang scleractinia: telaah pustaka (Reproduction of scleractinian corals: a review). Biota 8(3):131-134.

1. Pendahuluan
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang sangat penting di Indonesia, seperti pentingnya hutan tropis. Pada saat ini laju perusakan terumbu karang jauh di atas laju pemulihannya secara alami, maka rehabilitasi terumbu karang sudah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, seperti yang terjadi pada reboisasi hutan. Karang scleractinia, atau karang batu atau karang hermatipik, merupakan komponen terumbu karang yang paling penting. Karena itu, di dalam upaya rehabilitasi terumbu karang, pengetahuan tentang reproduksi dan rekruitmen karang scleractinia merupakan dua pengetahuan dasar yang sangat penting.
Reproduksi karang scleractinia, selanjutnya secara ringkas disebut repruduksi karang, merupakan salah satu topik dari biologi laut yang sangat kurang dipahami, terutama di Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian karena kurangnya penelitian tentang reproduksi karang, sangat sedikitnya jurnal biologi laut yang tersedia, serta kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa dan ilmuwan Indonesia yang kurang.
Ketiga faktor tersebut telah membuat pemahaman mahasiswa dan sebagian peneliti Indonesia tentang reproduksi karang banyak yang ketinggalan jaman atau telah kedaluarsa. Pada saat ini masih banyak peneliti karang Indonesia yang menyatakan bahwa sebagian besar karang adalah diocious (berumah dua) dan mengeluarkan larva planulla ketika memijah. Pemahaman ini mareka dapatkan dari buku teks biologi laut yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Memang sebagian buku tersebut terbit pada tahun 1995-an, tetapi buku-buku tersebut sebenarnya telah diterbitkan sebelum tahun 1984, dalam teks aslinya Bahasa Inggris. Di dalam tahun 1984-1986, terjadi revolusi besar dalam pemahaman manusia tentang reproduksi karang. Tidak adanya akses pada jurnal-jurnal biologi laut, baik karena tidak tersedianya jurnal maupun karena kemampuan bahasa, membuat pengetahuan sebagian peneliti Indonesia tentang reproduksi karang tersebut telah tertinggal jaman.
Telaah pustaka ini dimaksudkan untuk memberikan penyegaran fakta-fakta tentang reproduksi karang di seluruh dunia dan beberapa tambahan data dari Indonesia. Salah satu masalah besaar dalam menemukan data reproduksi karang di Indonesia bukan hanya sedikitnya jumlah peneliti reproduksi karang, tetapi juga kurangnya publikasi, sehingga pengetahuan yang sangat sedikit tersebut menjadi lebih sedikit lagi.

2. Reproduksi Seksual Karang
Pola dan tipe reproduksi karang sangat beragam. Sebagian besar karang adalah monocious (hermaprodit), sebagian yang lain adalah diocious. Dari 210 spesies yang telah diteliti reproduksinya, 143 spesies di antaranya hermaprodit (Richmond and Hunter 1990). Di antara karang-karang tersebut, ada yang melakukan pembuahan internal ada pula yang eksternal. Sebelum ditemukannya pemijahan massal di the Great Barrier Reef (Harrison et al. 1984, Willis et al. 1985), para ahli karang menduga bahwa sebagian besar karang melakukan pembuahan internal. Penelitian yang lebih intensif tentang reproduksi karang setelah ditemukannya pemijahan massal menunjukkan bahwa sebagian besar karang melakukan fertilisasi eksternal. Karang yang melakukan pembuahan internal disebut juga sebagai pengeram (brooders), sedangkan yang menjalani fertilisasi eksternal disebut pemijah (broadcast spawners). Karang pengeram biasanya menghasilkan telur yang lebih sedikit daripada karang pemijah. Mungkin hal ini berhubungan dengan biaya perawatan yang tinggi untuk mengandung embryo (Harrison and Wallace 1990).
Walaupun kebanyakan karang adalah hewan hermaprodit. Beberapa spesies menunjukkan pola seksual yang membingungkan, misalnya Astrangia danae, Heteropsammia cochlea, Porites porites, Porites cylindrica dan Turbinaria mesenterina (Harrison and Wallace 1990). Kelompok karang ini biasanya bersifat gonokhoristik, tetapi kadang-kadang dijumpai bersifat hermaprodit .
Pada saat musim pemijahan, karang pengeram mengeluarkan larva (embryo) dari mulutnya. Sedangkan karang pemijah mengeluarkan sperma dan telur yang belum dibuahi melalui lubang yang sama. Fertilisasi karang pemijah terjadi di dalam air laut. Fertilisasi karang pengeram terjadi di dalam rongga gastrovaskular, dimana telur menetap beberapa hari sebelum pemijahan berlangsung.
Pemijahan biasanya terjadi pada malam hari setelah bulan purnama (Willis et al. 1985) di the Great Barrier Reef. Setelah matahari terbenam dan sebelum bulan purnama muncul, karang memijah di dalam kegelapan. Pemijahan terjadi selama seminggu setelah bulan purnama Oktober atau Nopember. Masing-masing spesies biasanya mempunyai jadwal tertentu untuk memijah setiap tahunnya. Goniastrea aspera, misalnya, memijah pada hari ke 2 hingga ke 4 setelah bulan purnama (Babcock et al. 1986). Pemijahan massal di the Great Barrier Reef ini berlangsung secara konsisten sejak diteliti di tahun 1981 sehingga kapan karang akan memijah telah dapat diramalkan jauh sebelumnya.
Lingkungan tempat hidup karang mempunyai pengaruh yang besar dalam pola reproduksi karang tersebut. Karang Acropora palifera, misalnya, reproduksi setahun sekali di Heron Island (23.5oLS), tetapi reproduksi sepanjang tahun di Lizard Island (14oLS) dan Lae (7oLS) (Kojis 1986). Ini berarti bahwa variasi faktor-faktor lingkungan dari tempat-tempat tersebut sebagai penyebab terjadinya variasi pola-pola reproduksi A. palifera.
Ada empat faktor lingkungan yang diduga paling berperan dalam siklus reproduksi karang, yaitu : suhu air laut, panjang hari (fotoperiod), siklus bulan dan pasang surut (Oliver et al. 1988). Siklus suhu air laut dan fotoperiod diduga sebagai faktor penyelaras jangka panjang yang menyelaraskan proses-proses gametogenesis. Sedangkan siklus bulan dan pasang surut dianggap sebagai faktor penyelaras peristiwa pemijahan.
Dilaporkan bahwa semakin ke arah utara the Great Barrier Reef, semakin kurang selaras pemijahan karang (Oliver et al., 1988). Pemijahan menjadi tidak selaras di dekat ekuator. Di Salamua (Papua New Guinea), misalnya, karang mempunyai masa memijah yang berbeda-beda atau memijah sepanjang tahun (Kojis, 1986). Di Hawaii dan Karibia, pemijahan karang juga tidak terjadi secara singkat dan masal, melainkan berlangsung selama beberapa bulan dengan puncak pemijahan pada bulan-bulan tertentu (Richmond and Hunter, 1990). Semakin mendekati ekuator keselarasan pemijahan masal karang semakin berkurang (Oliver et al., 1988). Karena variasi jarak dari ekuator berhubungan dengan variasi siklus suhu air laut dan fotoperiod, maka diduga kuat bahwa kedua faktor tersebut sangat berperan di dalam penentuan reproduksi karang.
Variasi suhu air laut telah diduga kuat sebagai faktor yang paling berperan dalam pemijahan masal tersebut (Harrison et al. 1984; Babcock et al. 1986). Semakin besar variasi tahunan temperatur air laut, semakin tinggi proporsi karang yang memijah bersama (Richmond and Hunter 1990). Tetapi pengamatan di lapangan lebih banyak menimbulkan teka-teki. Di C, tetapi°Samoa, misalnya, variasi temperatur air laut hanya sekitar 2.5 karang-karang memijah secara masal. Di dalam laboratorium, karang yang dipelihara di air yang lebih hangat, proporsi karang yang memijah bulan Nopember lebih tinggi daripada karang yang dipelihara di suhu air ambang (Bachtiar 1994). Akan tetapi, perkembangan telur dan testes karang yang dipelihara di air hangat tidak berbeda dengan telur dan testes karang yang di air dingin.
Fotoperiod juga diduga banyak mempengaruhi reproduksi karang. Variasi fotoperiod paralel dengan variasi suhu air laut. Maka sulit membedakan apakah suatu variasi gejala yang berkaitan dengan variasi latitudinal disebabkan oleh suhu air laut ataukah oleh fotoperiod. Tetapi karang yang dipelihara selama tiga bulan sebelum musim pemijahan pada tiga macam perlakuan fotoperiod dengan cahaya buatan, tetap memijah pada bulan yang sama (Bachtiar 1994). Percobaan tersebut menunjukan bahwa fotoperiod sendiri bukan faktor yang penting dalam penentuan bulan peimjahan karang di the Great Barrier Reef.
Reproduksi karang di Indonesia belum banyak diketahui. Lokasi geografis Indonesia yang terletak di kawasan tropis, dimana variasi suhu air laut dan panjang hari tidak selebar di The Great Barrier Reef maupun Okinawa, maka diduga bahwa reproduksi karang terjadi sepanjang tahun. Bachtiar (2001) melaporkan bahwa tiga jenis karang yang dominan di perairan barat laut Lombok Barat (Acropora nobilis, A. cytherea dan Hydnophora rigida) mempunyai musim reproduksi yang tidak serentak dan terentang panjang. Pemijahan puncak A. nobilis terjadi setelah purnama bulan Pebruari, dan pemijahan A. cytherea terjadi setelah purnama bulan Januari. Sedangkan karang Hydnophora rigida puncak pemijahannya terjadi dua kali setahun, yaitu setelah purnama bulan Nopember dan sekitar bulan April. Di perairan Laut Jawa, pemijahan karang ternyata tidak sama dengan di Lombok. Di Pulau Panjang, Jepara, karang A. aspera memijah setelah purnama bulan April (Munasik dan Azhari, 2002). Sedangkan di Pulau Karimunjawa, karang A. hyacinthus dan A. humilis dilaporkan memijah pada bulan Oktober (reviewed in Munasik, 2002). Di dalam catatan Munasik (2002), ada 19 jenis karang lainnya di Karimunjawa (Agariciidae, Faviidae, Merulinidae, Pectinida, Poritidae) yang mempunyai musim pemijahan setelah purnama di bulan Oktober dan Nopember. Tetapi semua data musim pemijahan karang di Karimunjawa tidak didapatkan melalui pengamatan histologis, melainkan oleh pengamatan mahasiswa di lapangan. Klarifikasi tentang musim pemijahan beberapa karang di Karimunjawa secara histologis perlu dilakukan sebelum kita menggunakan data tersebut untuk menarik suatu kesimpulan atau menyusun suatu dugaan.

3. Penyebaran Larva Planula
Sebelum ditemukannya pemijahan massal di the Great Barrier Reef, reproduksi karang di seluruh dunia dianggap sama dengan yang diketahui di terumbu karang Karibia, yang didominasi oleh karang pengeram. Karena larva karang pengeram dalam beberapa jam mampu menempel di substrat, maka penyebaran larva karang diduga tidak jauh dari habitat induknya.
Setelah diketahui bahwa karang kebanyakan pemijah gamet yang baru mampu menempel setelah 3 hari atau lebih (Richmond 1988), maka dugaan bahwa gamet dan larva karang dapat disebarkan dalam jarak yang jauh semakin kuat. Pengamatan di the Great Barrier Reef membuktikan bahwa plankton hasil pemijahan karang ditemukan hanyut oleh arus oseanik yang jauh dari terumbu induknya. Dalam 30 jam setelah spawning, plankton karang ditemukan di lokasi sejauh 6.5 km dari terumbu asalnya (Willis and Oliver 1988). Lamanya kompetensi larva planula untuk menempel di substrat yang sesuai memperkuat hipotesis bahwa larva karang dapat tersebar jauh dari terumbu induknya. Larva Acroporidae (Acropora tenuis) akan siap menempel sejak berusia 3 hari hingga 20 hari kemudian, sedangkan larva Pocilloporidae (Pocillopora damicornis) dapat dapat bertahan kompeten di air laut sebagai plankton hingga 100 hari (Richmond 1988). Dalam waktu yang lama tersebut larva planula dapat terseret arus hingga ratusan kilometer dari induknya.
Larva planula dalam 24 jam pertama sebagian besar terkonsentrasi di permukaan air. Semakin lama larva kehilangan keterapungannya (buoyancy) sehingga semakin tenggelam dan larva semakin tersebar di air bagian bawah. Pada hari kelima Willis dan Oliver (1988) menemukan bahwa konsentrasi larva di permukaan tidak berbeda lagi dengan di kedalaman 20 meter.

4. Penempelan (settlement) Larva Planula
Jika tersedia substrat yang sesuai, maka larva planula yang telah kehilangan keterapungan akan menempel, melekat di substrat dan mengalami metamorfosis, yang kemudian tumbuh menjadi rekruit. Penempelan larva dimulai jika larva planula yang kompeten dapat menemukan substrat yang keras. Sebelum menempel, planula berenang-renang di sekitar substrat untuk mencari dan menguji lokasi mana yang akan ditempeli (Harrison and Wallace 1990). Bagian aboral planula diduga mempunyai semacam sensor yang berperan dalam pemilihan substrat tersebut.
Penempelan larva dapat berarti penempelan yang permanen dan diikuti oleh pelekatan dan metamorfosis, dapat juga berarti penempelan sementara saja (Harrison and Wallace 1990). Pada kasus penempelan sementara, planula akan berenang lagi untuk mencari lokasi penempelan lain yang lebih sesuai. Pelekatan larva planula terjadi dengan dikeluarkannya nematocyst dan mucus dari bagian epidermis aboral. Begitu pelekatan selesai, maka planula mengalami metamorfosis dengan terjadinya kontraksi dari arah oral ke aboral, sehingga bagian dasar lebih pipih dari bagian oralnya. Selesainya proses metamorfosis akan segera diikuti oleh proses kalsifikasi, pembentukan sekat-sekat rongga (mesentery) di dalam tubuh, dan pembentukan bakal tentakel. Metamorfosis pada hewan invertebrata biasanya dianggap sebagai proses yang tidak dapat kembali. Metamorfosis larva planula dapat terjadi jika ada perangsang yang berasal dari alga krustosa berkapur, pecahan karang atau kerangka karang (Heyward and Negri 1999).
Penempelan larva planula dapat terhambat jika substrat tertutupi oleh sedimen. Pada kondisi tutupan sedimen sebanyak 95%, telah menghalangi penempelan larva karang Pocillopora damicornis secara total (Hodgson 1990). Sedangkan penurunan tutupan sedimen dari 90% ke 50% tidak memberikan perbedaan jumlah penempelan larva. Babcock dan Davies (1991) juga melaporkan sedimentasi setinggi 3.1 mg cm-2 hari-1 dapat menurunkan jumlah planula karang Acropora millepora yang menempel di substrat.

5. Rekruitmen Karang
Rekruitmen adalah bertambahnya anggota suatu populasi atau komunitas. Karena larva yang baru menempel dan metamorfosis belum dapat dilihat (disensus) dengan mata telanjang, maka pada tahap ini belum terjadi rekruitmen, melainkan penempelan (settlement) larva. Tahapan rekruitmen terjadi setelah rekruit dapat disensus, yaitu setelah berusia beberapa minggu dengan pengamatan mikroskop atau berusia sekitar 8-10 bulan dalam pengamatan in situ (Harrison and Wallace 1990).
Kebanyakan penelitian tentang rekruitmen karang dilakukan dengan menggunakan lempeng penempelan. Disebut demikian karena biasanya berbentuk lempeng, seperti keramik, gelas kaca, dan irisan karang Porites berbentuk lempeng. Lempeng penempelan yang tidak berbentuk lempeng juga pernah digunakan, misalnya balok beton, kerangka karang yang mati atau kubus yang terbuat dari kerangka karang masif. Karena itu membandingkan rekruitmen karang antara penelitian satu dengan yang lainnya hanya dapat dilakukan dengan mengetahui jenis substrat yang digunakan. Hasil penelitian Harriot dan Fisk (1987) menunjukkan bahwa masing-masing substrat mempunyai jenis dan kelimpahan rekruit yang berbeda-beda. Substrat yang diuji adalah petri dishes, keramik mengkilap (glazed ties), keramik tidak mengkilap, potongan karang Porites, potongan karang Platygyra, kerangka karang Acropora palifera, kerangka Platygyra, dan kerangka karang Pocillopora eydouxi.
Wallace (1985) menelaah karakteristik substrat yang baik untuk rekruitmen karang scleractinia. Ia mendapatkan bahwa substrat yang disukai oleh larva planula adalah yang terbentuk dari kalsium karbonat, dan mempunyai permukaan yang kompleks. Permukaan substrat yang kompleks memberikan variasi orientasi penempelan planula dan sekaligus perlindungan dari pemangsaan dan perumputan.
Pada umumnya rekruitmen karang sangat bervariasi secara spasial dan temporal. Rekruitmen karang di terumbu dekat pulau (inshore reef, fringing reef) berbeda dengan di terumbu yang jauh dari pulau (midshelf reef, offshore reef) (Harriot and Fisk 1987, 1988, Babcock 1988, Fisk and Harriot 1990, Sammarco 1991). Tranplantasi rekruit dari terumbu tepi atau dekat pulau ke terumbu yang jauh dari pulau tidak meningkatkan mortalitas rekruit, tetapi transplantasi sebaliknya meningkatkan mortalitas rekruit (Sammarco 1991). Variasi temporal rekruitmen karang banyak tergantung dari musim pemijahan karang. Karang yang memijah sepanjang tahun, misalnya Pocilloporidae, tidak mengalami banyak perbedaan rekruitmen antar waktu.
Pada lempeng penempelan, rekruitmen biasanya ditemukan lebih banyak di permukaan bawah daripada permukaan atas (Harriot and Fisk 1987, Babcock 1988). Tetapi pada penelitian Wallace (1985), keunggulan jumlah rekruit di permukaan atas lempeng penempelan hanya terjadi di lokasi yang dangkal, yaitu rataan terumbu dan gudus. Di tempat yang dalam, tubir, rekruitmen di permukaan atas lebih tinggi daripada di permukaan bawah. Penggunaan lempeng penempelan yang berupa kerangka karang P.oydouxi turut menentukan, mengapa hasil penelitian Wallace (1985) berbeda dengaan hasil penelitian yang lainnya.
Komunitas karang di suatu terumbu tidak ada hubungannya langsung dengan jumlah rekruit. Di Green Island yang komunitas karangnya sudah banyak dihabiskan oleh bintang laut Achanther plancii ternyata mempunyai kelimpahan rekruit yang tinggi (Harriot and Fisk 1987, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa larva planula yang menempel di suatu terumbu berasal dari terumbu yang lainnya, dan fekunditas di suatu terumbu tidak ada kaitannya dengan kelimpahan rekruit di terumbu tersebut. Babcock (1988) memperkirakan bahwa larva planula karang mempunyai waktu lebih dari sebulan untuk menempel di substrat yang dipilihnya. Pada periode selama itu planula dapat terhanyut arus ke lokasi yang jauh dari induknya.
Karena rekruit (anakan karang) yang baru menempel tidak bisa diamati dengan mata telanjang, belum diketahui kecepatan pertumbuhannya yang pasti. Perhitungan kecepatan tumbuh rekruit berdasarkan waktu pemijahannya dan perkiraan lamanya menempel di lempeng penempelan (settlement plate) diperkirakan bahwa kecepatan pertumbuhan rekurit sangat lambat, sekitar 5 mm dalam tahun pertama (Harrison and Wallace 1990). Berdasarkan pengamatan rekruit yang tumbuh di substrat beton dan armoflex di Maldives dan waktu pemijahan, Clark and Edwards (1995) melaporkan bahwa rekruit sudah dapat dilihat dengan mata telanjang penyelam setelah berusia lebih dari 10 bulan.
Sebagaimana tipe hewan invertebrate di laut, kelulushidupan rekruit karang biasanya kecil. Sedimentasi disamping dapat menghambat penempelan larva juga dapat menurunkan kelulushidupan rekruit. Organisme lain seperti sponge, hidrozoa, tunicata, dan barnakel diduga mengurangi kelulushidupan rekruit (Harrison and Wallace 1990). Karang lunak Xenia puertogalerae dilaporkan mengurangi jumlah rekruitmen karang di sekitarnya (Atrigenio and Alino 1996). Percobaan Sammarco (1991) juga menunjukkan bahwa rekruit di terumbu dekat pulau mengalami kematian yang tinggi dari kompetisi terhadap ruang.
Tutupan algae yang lebat bisa menghambat penempelan larvae atau menurunkan kelulushidupan rekruit karena kompetisi terhadap ruang. Tetapi banyaknya hewan perumput di terumbu karang membuat keberadaan algae tidak menjadi pembatas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa keberadaan hewan-hewan perumput (grazer) dapat memfasilitasi penempelan larva dan mempertinggi kelulushidupan rekruit (Harrison and Wallace 1990). Perumputan yang sangat intensif memang dapat menghancurkan rekruit di antara algae tersebut. Tetapi ikan dari jenis Acanthuridae dan Scaridae, misalnya, dilaporkan menghindari rekruit yang berukuran >3 mm.

6. Reproduksi dan Rekruitmen Karang Dalam Rehabilitasi
Pengetahuan tentang reproduksi dan rekruitmen karang telah banyak bermanfaat dalam pengembangan teknologi rehabilitasi terumbu karang, yaitu upaya pengembalian prosentase tutupan karang batu. Teknologi rehabilitasi dengan transplantasi anakan (juvenil) karang sudah dilakukan di Filipina (Raymundo et al. 1999) dan di Hawaii dan Guam. Karang dipijahkan dalam laboratorium dan larvanya dibiarkan menempel di substrat yang disediakan. Setelah rekruit tumbuh menjadi juvenil dalam ukuran tertentu, anakan karang tersebut dipindahkan ke terumbu yang rusak. Semakin besaar koloni anakan karang yang dipindahkan, semakin tinggi pula kelulushidupannya. Teknologi transplantasi karang ini mempunyai efektivitas yang lebih baik daripada teknologi yang telah ada sebelumnya, yaitu transplantasi karang (Clark and Edwards 1995).
Akan tetapi, transplantasi anakan karang belum bisa dilakukan di sebagian besar wilayah negara berkembang. Transplantasi anakan karang memerlukan laboraorium biologi laut dan pengetahuan tentang waktu pemijahan karang. Kedua hal tersebut biasanya tidak tersedia di sebagian besar lokasi di Indonesia. Laboratorium biologi laut, misalnya, hanya tersedia kurang dari 10 buah dari 28 propinsi. Informasi tentang waktu pemijahan karang juga sangat sedikit. Maka, penerapan teknologi ini banyak kendalanya di negara berkembang.
Teknologi yang lebih praktis dan murah sudah mulai dikembangkan dengan menempatkan substrat buatan ke terumbu. Thongtham and Chansang (1999) di Phuket, Thailand, dan Bachtiar (2002) di Lombok, Indonesia, membuat substrat beton dan meletakkannya di terumbu yang rusak. Walaupun kedua penelitian tersebut mengunakan ukuran dan bentuk beton yang berbeda, keduanya melaporkan kelimpahan rekruit karang yang lebih tinggi di terumbu yang diberi beton daripada yang hanya dari substrat alami. Fox et al. (2001) juga mengembangkan teknologi yang praktis di Pulau Komodo, dengan cara membersihkan terumbu dari pecahan karang (rubble), membersihkan terumbu dari karang lunak dan menempatkan onggokan batu kali. Penelitian tersebut melaporkan kelimpahan rekruit yang lebih tinggi di ketiga perlakuan dibandingkan dengan di kontrol. Ketiga penelitian tersebut dapat meningkatkan kelimpahan rekruit dengan memberikan substrat yang stabil, karena kestabilan substrat merupakan salah satu syarat utama untuk mencegah kematian pasca penempelan.

7. Penutup
Penelitian tentang reproduksi dan rekruitmen karang masih sangat kurang di Indonesia, sehingga informasi yang tersedia sangat sedikit. Karena itu, penelitian reproduksi karang, terutama karang yang pemijahannya tahunan sangat diperlukan untuk pengembangan teknologi rehabilitasi yang sesuai dengan wilayah target. Karang di Indonesia bagian timur mungkin berbeda musim pemijahannya dibandingkan dengan di Indonesia Barat, karena keduanya mendapat arus yang berbeda dan dipengaruhi oleh siklus suhu air laut yang berbeda pula.
Sedikitnya informasi tentang reproduksi karang dan kurangnya fasilitas laboratorium bukan hambatan yang besar dalam pengembangan teknologi rehabilitasi. Beberapa macam teknologi generik yang murah telah dikembangkan di Indonesia, walaupun penelitian lanjutan masih sangat diperlukan. Kelulushidupan rekruit di substrat buatan, jenis-jenis substrat buatan yang murah dan efektif, dan jumlah serta bentuk substrat buatan yang optimum; semuanya merupakan informasi kunci yang belum didapatkan dalam teknologi generik rehabilitasi terumbu karang.


Daftar Pustaka
Atrigenio, M.P. and Alino, P.M. (1996). The effects of soft coral Xenia puertogalerae on the recruitment of scleractinian corals. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 203(2):179 189.
Babcock, R. (1988) Fine-scale spatial and temporal patterns in coral recruitment. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2::635-639.
Babcock, R. and Davies, P. (1991). Effects of sedimentation on settlement of Acropora millepora. Coral Reefs 9:205 208.
Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1986). Synchronous spawnings of 105 scleractinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar. Biol. 90:379-394.
Bachtiar, I. (1994). The Effect of Temperature, Photoperiod and Fragmentation on the Reproduction of Mass Spawning Corals. Thesis. James Cook University of North Queensland. pp.121.
Bachtiar, I. (2001). Reproduction of three scleractinian corals (acropora cytherea, A. nobilis and Hydnophora rigidai) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Majalah Ilmu Kelautan (Journal of Indonesian Marine Sciences) 21:18-27.
Bachtiar, I. (2002). Promoting recruitment of scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat, Indonesia. Proc. 9th Int. Coral Reef Symp. Bali 2000. In perss.
Clark, S. and Edwards, A.J. (1995). Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldives Islands. Coral Reef 14(4):201-213.
Fisk, D.A. and Harriot, V.J. (1990). Spatial and temporal variation in coral recruitment on the Great Barrier reef: implications for dispersal hypotheses. Mar. Biol. 107:485 490.
Harrison, P.L. and Wallace, C.C. (1990). Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In : Dubinzky, Z. (ed.) Coral Reefs. Elsevier Science Publishers. Amsterdam. pp. 133-207.
Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1987). A comparison of settlement plate types for experiments on the recruitment of scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 37:201 208.
Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1988). Recruitment patterns of scleractinian corals: astudy of three reefs. Aust. J. Mar. Freshwater Res. 46:409-416.
Harrison, P.L., Babcock, R.C., Bull, G.D., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1984). Mass spawning in tropical reef corals. Science 223(1):186-189.
Hatcher, B.G. (1980). Grazing in coral reef ecosystem. In: Barnes, P.J. (ed.) “Perspective on Coral Reefs”. AIMS. Townsville, pp. 164-175.
Heyward, A.J. and Negri, A.P. (1999). Natural inducers for coral larval metamorphosis. Coral Reefs 18:273-279.
Hodgson, G. (1990). Sediment and the settlement of larvae of the reef coral Pocillopora damicornis. Coral Reefs 9:41 43.
Kojis, B.L. (1986). Sexual reproduction of in Acropora (Isopora) (Coelenterata: Scleractinia) II. Latitudinal variation in Acropora palifera from the Great Barrier Reef and Papua New Guinea. Mar. Biol. 91:311-318.
Munasik. 2002. Reproduksi karang di Indonesia: suatu kajian. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.
Munasik and Azhari, A. 2002. Masa reproduksi dan struktur gonad karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jepara. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.
Oliver, J.K., Babcock, R.C., Harrison, P.L. and Willis, B.L. (1988). Geographic extent of mass coral spawning: Clues to ultimate causal factors. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. Australia 2:803-810.
Richmond, R.B. (1988). Competency and dispersal of planullae larvae of a spawning versus a brooding coral. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:827-831.
Richmond, H.R. and Hunter, C.L. (1990). Reproduction and recruitment of corals: comparison among the Carribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser. 60:185-203.
Sammarco, P.W. (1991). Geographically specific recruitment and postsettlement mortality as influences on coral communities: The cross-continental shelf transplant experiment. Limnol. Oceanogr. 36(3):496-514.
Wallace, C.C. (1985). Seasonal peak and annual fluctuations in recruitment of juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:280-298.
Willis, B. L. and Oliver, J.K. (1988). Inter-reef dispersal of coral larvae following the annual mass-spawning of the Great Barrier Reef. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:853-859.
Willis, B.L., Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K. and Wallace, C.C. (1985). Patterns in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to 1984. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:343-348.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

comment yo..