Selasa, 21 Desember 2010

manfaat tulang rawan hiu

Tulang ikan masih di anggap sebagai barang tak berguna saat ini, hampir tak ada berita tentang manfaat dari tulang ikan. Namun demikian berbeda dengan Tulang rawan ikan hiu. Dalam kunjungan yang kami lakukan di TPI Demaan Kabupaten Jepara, kami menemui Bapak Wagiman, seorang nelayan yang sudah menekuni usaha pengolahan mentah sirip dan tulang rawan ikan hiu serta tenggorokan ikan mangun selama 10 tahun lebih. Dari keterangan yang kami dapatkan dari beliau, kami tertarik akan khasiat yang ada pada kesemua bagian ikan tersebut, yang menurut Pak Wagiman bagian-bagian ikan ini biasa ia kirim ke berbagai Negara, seperti Jepang, Korea, Cina dan Amerika.

Dari penelusuran kami mengenai kandungan dan khasiat dari tulang rawan ikan hiu, kami mendapatkan informasi bahwa di dalam tulang rawan hiu terkandung protein, kalsium, fosfor, karbohidrat, air, serat, lemak serta komponen alamiah lainnya sebagai nutrisi. Sebaliknya, pada tulang rawan tersebut tidak ditemukan unsur-unsur heavy metal, seperti unsur-unsur seperti seng, tembaga, merkury, nikel dan logam berat sejenisnya yang cenderung berbahaya bagi manusia.
Para ahli berkesimpulan, tulang rawan hiu tidak beracun dan tidak memiliki efek samping, sehingga aman dikonsumsi, setelah mengetahui kandungan zat tersebut dalam tulang rawan ikan hiu. Badan Pengatur Obat dan Makanan Amerika (FDA) sendiri, sejak 1993 sudah mengeluarkan izin khusus untuk pemakaian tulang rawan hiu sebagi penunjang pengobatan alternatif.

Berdasarkan penelitian secara klinis, tulang rawan hiu dinyatakan mampu menjaga pertumbuhan dan penyebaran sel tumor, membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri pada tulang, membantu menghindari penyakit rematik, memperkuat dan menjaga fungsi tulang, membantu menghilangkan rasa pegal dan encok, menjaga kesehatan dan fasilitas tubuh serta menghindari kelainan tulang belakang yang bengkok.
Penelitian tulang rawan ikan hiu pada penyakit sendi dan rematik dipelopori oleh ahli bedah tulang Dr John Pruden dari Harvard. Penelitian awal menunjukkan 25 pasien dari 28 pasien yang menderita rematik artristis berat disertai dengan gangguan fungsi pergerakan setelah disuntik tulang rawan selama 3-8 minggu menunjukkan hasil yang cukup baik. Hal ini disebabkan tulang rawan hiu mengandung protein untuk menggantikan protein kolagen yang rusak pada persendian penyakit rematik.

Tulang rawan hiu sudah lama pula dikenal sebagai makanan sehat oleh masyarakat Cina yang dimakan dalam bentuk bubur yang mengakibatkan kesegaran tubuh dan aktivitas yang lebih. Dari keterangan Dr Lane Phd, seorang ahli nutrisi laut dari Cornell University Amerika Serikat yang mengembangkan dan mengadakan penelitian terhadap tulang rawan hiu, menyatakan bahwa penderita rematik atau kanker akan mendapatkan kemajuan klinis yang positif bila penderita rematik (gangguan pada sendi) atau kanker mengkonsumsi tulang rawan hiu.
Dari penelitian yang telah di lakukan tersebut, kemudian didapatkan hipotesa bahwa tulang rawan hiu sebagai anti inflamsi dan anti angio genesis yang merupakan faktor utama tulang rawan hiu dapatdi jadikan makanan untuk penyembuhan penyakit tulang dan kanker.

Penelitian dan uji klinis lain yang di lakukan Dr Karel Dourman HS Sp PD membuktikan bahwa tulang rawan ikan hiu mampu mencegah pertumbuhan dan penyebaran sel tumor, mampu menghancurkan sel kanker, selain membantu mengurangi rasa sakit dan nyeri tulang. Manfaat lain tulang rawan ikan hiu untuk mencegah scoliosis atau kelainan tulang belakang yang bengkok,membantu menghindari penyakit rematik,memperkuat dan menjaga fungsi tulang, membantu menghilangkan rasa pegal, encok, menjaga kesehatan dan vitalitas tubuh. Beliau melanjutkan bahwa tulang rawan ikan hiu terbukti telah menyembuhkan ribuan pasien kanker di dunia seperti di kutip dari hasil penelitian ahli kanker dari Harvard University Medical School Dr J Folkman, MD. (http://www.etalasemuslim.com/product_info.php?products_id=908

Produk tulang rawan ikan hiu
Dari info yang kami dapat, saat ini pengelolaan tulang rawan ikan hiu sudah berskala besar, yang terpenting lagi dalam bidang farmasi atau obat-obatan. Hal ini di buktikan dengan telah adanya kapsul dari tulang rawan ikan hiu yang ada di pasaran dengan merk Shark Cartilage, dalam satu botol kapsul tulang rawan ikan hiu ini berjumlah 50 butir dan di hargai dengan Rp 100.000,00/botol.

populasi hiu menurut
di temukannya manfaat dari bagian tubuh ikan hiu sebagai obat, baik sirip maupun tulang rawannya. ternyata menjadi salah satu hal yang mengakibatkan penurunan populsi ikan hiu. sehingga dari sini kita perlu melalukab peraturan perburuan ikan hiu baik untuk tujuan riset maupun konsumsi, sehingga populasi hiu tetap terjaga dan tidak mengalami kepunahan.


tugas survei eksplorasi gw..

baca selengkapnya......

Rabu, 15 Desember 2010

sonar untuk ekplorasi kelautan

Definisi Sonar
Sonar (Singkatan dari bahasa Inggris: sound navigation and ranging), yang berarti penjarakan dan navigasi suara, adalah sebuah teknik yang menggunakan penjalaran suara dalam air untuk navigasi atau mendeteksi kendaraan air lainnya. Atau Sonar di definisikan sebagai suatu metode yang memanfaatkan perambatan suara didalam air untuk mengetahui keberadaan obyek yang berada dibawah permukaan kawasan perairan. Sehingga sonar merupakan salah satu alat Hydro-acoustic yang merupakan suatu teknologi pendeteksian bawah air dengan menggunakan perangkat akustik (acoustic instrument).

Sejarah Sonar
• Daniel Colloden yang pada tahun 1822 menggunakan lonceng bawah air untuk menghitung kecepatan suara di bawah air di Danau Geneva, Swiss.
• Lewis Nixon, yang pada tahun 1906 menemukan alat pendengar bertipe sonar pertama untuk mendeteksi puncak gunung es
• Paul Langevin yang pada tahun 1915 menemukan alat sonar pertama untuk mendeteksi kapal selam.

Jenis Sonar
1. Sonar aktif : mentransmisikan gelombang suara, dan menerima pantulannya (echo) kembali
2. Sonar pasif : hanya menerima sinyal gelombang suara (noise) yang ditransmisikan oleh suatu objek

Proses Kerja Sonar
Cara kerja perlengkapan sonar adalah dengan mengirim gelombang suara bawah permukaan dan kemudian menunggu untuk gelombang pantulan (echo). Data suara dipancar ulang ke operator melalui pengeras suara atau ditayangkan pada monitor. Dengan mengetahui kecepatan gelombang media yang diukur dan dengan menggunakan persamaan s = v ( ½ t), maka kita akan mendapatkan jarak yang diukur. Factor setengah di depan t, di atas menyatakan setengah waktu tempuh dari sonar ke tempat pemantulan dan kembali ke sonar. Dengan ungkapan lain, waktu yang diperlukan oleh gelombang untuk merambat dari sonar ke tempat pemantulan.

Kegunaan Sonar
a. Pengukuran Kedalaman Dasar Laut (Bathymetry)
Pengukuran kedalaman dasar laut dapat dilakukan dengan Conventional Depth Echo Sounder dimana kedalaman dasar laut dapat dihitung dari perbedaan waktu antara pengiriman dan penerimaan pulsa suara. Dengan pertimbangan sistim Sonarpada saat ini, pengukuran kedalaman dasar laut (bathymetry) dapat dilaksanakan bersama-sama dengan pemetaan dasar laut (Sea Bed Mapping) dan pengidentifikasian jenis lapisan sedimen dibawah dasar laut.
b. Pengidentifikasian Jenis-jenis Lapisan Sedimen Dasar Laut (Subbottom Profilers)
Peralatan sonaryang mutahir dilengkapi dengan subbottom profilers dengan menggunakan prekuensi yang lebih rendah dan sinyal impulsif yang bertenaga tinggi yang digunakan untuk penetrasi kedalam lapisan sedimen dibawah dasar laut. Dengan adanya klasifikasi lapisan sedimen dasar laut dapat menunjang dalam menentukkan kandungan mineral dasar laut dalam. Dengan demikian teknologi akustik bawah air dapat menunjang esplorasi sumberdaya non hayati laut.
c. Pemetaan Dasar Laut (Sea bed Mapping)
Dengan teknologi sonardalam pemetaan dasar laut, dapat menghasilkan tampilan peta dasar laut dalam tiga dimensi. Dengan teknologi akustik bawah air yang canggih ini dan dikombinasikan dengan data dari subbottom profilers, akan diperoleh peta dasar laut yang lengkap dan rinci. Peta dasar laut yang lengkap dan rinci ini dapat digunakan untuk menunjang penginterpretasian struktur geologi bawah dasar laut dan kemudian dapat digunakan untuk mencari mineral bawah dasar laut.
d. Pencarian kapal-kapal karam didasar laut
Pencarian kapal-kapal karam dapat ditunjang dengan teknologi sonarbaik untuk untuk kapal yang sebagian terbenam di dasar laut ataupun untuk kapal yang keseluruhannya terbenam dibawah dasar laut. Dengan teknologi ini, lokasi kapal karam dapat ditentukan dengan tepat. Teknologi akustik bawah air ini dapat menunjang eksplorasi dan eksploitasi dalam bidang Arkeologi bawah air (Underwater archeology) dengan tujuan untuk mengangkat dan mengidentifikasikan kepermukaan laut benda-benda yang dianggap bersejarah.
e. Penentuan jalur pipa dan kabel dibawah dasar laut.
Dengan diperolehnya peta dasar laut secara tiga dimensi dan ditunjang dengan data subbottom profiler, jalur pipa dan kabel sebagai sarana utama atau penunjang dapat ditentrukan dengan optimal dengan mengacu kepada peta geologi dasar laut. Jalur pipa dan kabel tersebut harus melalui jalur yang secara geologi stabil, karena sarana-sarana tersebut sebagai penunjang dalam eksplorasi dan eksploitasi di Laut.
f. Analisa Dampak Lingkungan di Dasar Laut
Teknologi akustik bawah air Sonar ini dapat juga menunjang analisa dampak lingkungan di dasar laut. Sebagai contoh adalah setelah eksplorasi dan ekploitasi sumber daya hayati di dasar laut dapat dilakukan, Sonardapat digunakan untuk memonitor perubahan-perubahan yang terjadi disekitar daerah eksplorasi tersebut. Pemetaan dasar laut yang dilakukan setelah eksplorasi sumber daya non-hayati tersebut, dapat menunjang analisa dampak lingkungan yang telah terjadi yang akan terjadi ( Arnaya,1991).


Daftar Pustaka
Arnaya, I.N. 1991. “Dasar-dasar Akustik. Diktat Kuliah Program Studi Ilmu dan Teknologi Kelautan . Institut Pertanian Bogor.
Kunarso, 2010, bahan kuliah akustik kelautan. Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro Semarang

baca selengkapnya......

CIRI CIRI ZOOXANTHELLAE

Zooxanthellae (Yunani : Alga hewan kuning cokat) adalah sebuah istilah yang merujuk pada sekelompok dinoflagellata yang berasal dari perubahan evolusi yang berbeda yang terjadi dalam simbiosis dengan invertebrata laut.
1. Dinoflagellata
Dinoflagellata adalah organisme aneh dan kelompok organisme yang menakjubkan: beberapa anggotanya 10 adalah autothrophik (memperoleh sumber energi dari cahaya matahari dan membentuk karbon organic melalui proses fotosintesis. Sementara yang lainnya adalah organism heterotrop yang mendapatkan sumber energi dari bahan organic melalui pemangsaan terhadap organisme lain (Anonimus, 2010 a; Barnes, 1987).
Diyakini bahwa seluruh zooxanthella memiliki spesies yang sama, Symbiodinium microadriaticum (Rowan dan Powers, 1991). Namun akhir-akhir ini zooxanthella berbagai macam coral telah ditemukan tidak kurang dari 10 taxa alga (Anonimus, 2010 b), sedangkan menurut Anonimus (2010 a) setidaknya 17 taxa alga. Dinoflagellata fotosintetik memiliki pigmen unik (diadinoxanthin, peridinin) dan enzim fotosintetik.

2. Single cell / unicellular
Zooxnthella tidak hanya di temukan dalam bentuk satu sel (singular) namun juga dalam bentuk banyak sel/lebih dari satu sel (prural) disebut juga zooxanthellae. Konsentrasi pada tubuh koral dari alga ber-sel tunggal ( Zooxanthellae ) ini bisa mencapai 30.000 per milimeter kubik.

3. Berwarna kuning kecoklatan
Zoozanthella merupakan alga cokllat yang mempunyai pigmen coklat dan kuning.
Zooxanthellae bertanggung jawab untuk warna yang unik dan indah banyak karang batu. Kadang-kadang ketika karang menjadi stres fisik, polip mengusir sel-sel alga dan koloni mengambil penampilan putih mencolok. Hal ini biasanya digambarkan sebagai "pemutihan karang" (Barnes, RSK dan Hughes, 1999; Lalli dan Parsons, 1995). Jika polip pergi terlalu lama tanpa zooxanthellae, pemutihan karang dapat mengakibatkan kematian karang.

4. Ukuran 8-14 mikron
Zooxantella juga merupakan hewan mikroskopis, ukurannya berkisar antara 8-14 mikron maka dari itu disebut mikroskopis dan jumlahnya dilautan sangat banyak dan melimpah jutaan hingga milyaran tak berhingga.

5. Simbiosis: Coccoid phase
Dinoflagellata yang hidup bebas dapat terjadi dalam fase Coccoid yang nonmotil dan tidak memiliki flagel atau sebagai dinomastigote yaitu fase dimana memiliki dua flagel dan memiliki sifat berenang. Sehingga pada fase ini zooxanthella melepaskan flagella, maka dia tidak motil dan aktif, aktifitas yang dilakukan hanya yang bersifat ditempat seperti bereproduksi.

6. Dialam: motile phase
Ketika berada dilaut lepas dikatakan fase motil, yaitu fase dimana terdapat flagella yang dapat dengan bebas digunakan untuk pergerakan diperairan.

7. Endosymbiotic
Dikatakan endosymbiotic karena proses simbiosis antara zooxanthella dan karang yang terbentuk tersebut terjadi di dalam lapisan tubuh karang yang terdalam yaitu dilapisan gastrodermis/endodermis.

8. Bersimbiosis dengan: protozoa, porifera, cnidaria, platyhelminthes dan moluska
Zooxanthellae bersimbiosis dengan hewan laut, seperti :
• Anemon
• Kima raksasa
• Gorgonia karang atau penggemar laut
• Soft karang
• Laut cambuk
• Nudibranch
• Ubur-ubur
Kima Tridacna, menyimpan zooxanthellae di kaos luarnya
Dalam asosiasi ini, karang mendapatkan sejumlah keuntungan berupa :
1. Hasil fotosintesis, seperti gula, asam amino, dan oksigen
2. Mempercepat proses kalsif ikasi yang menurut Johnston terjadi melalui skema:
— Fotosintesis akan menaikkan PH dan menyediakan ion karbonat lebih banyak
— Dengan pengambilan ion P untuk fotosintesis, berarti zooxanthellae telah menyingkirkan inhibitor kalsifikasi.

9. Diperoleh dari: Induk, melalui telur Alam (air sekitarnya)
Sebagai contoh Bytell menemukan bahwa untuk zooxanthellae dalam Acropora palmata suplai nitrogen anorganik, 70% didapat dari karang (lihat Tomascik et al. 1997). Anorganik itu merupakan sisa metabolisme karang dan hanya sebagian kecil anorganik diambil dari perairan.
Dari reproduksi secara seksual, karang akan mendapatkan zooxanthellae langsung dari induk atau secara tidak langsung dari lingkungan. Sementara dalam reproduksi aseksual, zooxanthellae akan langsung dipindahkan ke koloni baru atau ikut bersama potongan koloni karang yang lepas.
Setelah beberapa zooxanthellae memasuki tubuh hewan tempat mereka mereka dapat dengan cepat membangun populasi mereka dengan memisahkan dua. Hal ini berarti normal reproduksi

10. Sumber energi hewan inang
Ada pendapat para ahli yang mengatakan bahwa hasil fotosintesis zooxanthellae yang dimanfaatkan oleh karang, jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan proses respirasi karang tersebut (Muller-Parker & D’Elia 2001). Sebagian ahli lagi mengatakan sumber makanan karang 75-99% berasal dari zooxanthellae (Tucket & Tucket 2002). Zooxanthellae memasok karang dengan glukosa, gliserol, dan asam amino, yang merupakan produk fotosintesis.
Zooxanthellae menghasilkan oksigen dan senyawa organik melalui fotosintesis yang akan dimanfaatkan oleh karang. Jenis Zooxanthellae yang berbeda dapat menghadapi tingkat tekanan yang berbeda pula dan beberapa zooxanthellae telah menunjukkan dapat beradaptasi kepada beberapa jenis jenis karang tertentu. Biasanya mereka ditemukan dalam jumlahbesar dalam setiap polip, hidup bersimbiosis, memberikan : warna pada polip, energi dari fotosintesa dan 90% kebutuhan karbon polip.

11. Berperan dalam produktivitas perairan
Hubungan antara koral dan zooxanthellae adalah simbiosis mutualisme. Zooxanthellae menyediakan makanan untuk polip karang melalui proses memasak yang disebut fotosintesis, sedangkan polip karang menyediakan tempat tinggal yang aman dan terlindung untuk zooxanthellae.
Bagi zooxanthellae, karang adalah habitat yang baik karena merupakan pensuplai terbesar zat anorganik untuk fotosintesis.
Zooxanthella mempercepat pembentukan skeletal dalam bangunan terumbu karang melalui sebuah fenomena yang disebut “light enhanced calcification”. Zooxanthella memiliki peran ganda dalam menjelaskan keberhasilan terumbu karang pertama, melalui kontribusinya pada sumbangan energi bagi coral (coral’s energy budget) dan kedua, melalui percepatan laju kalsifikasi dan tentu saja laju pertumbuhannya dalam kompetisi dengan organisme bentik lain.

12. Reproduksinya membelah
Zooxanthellae dapat berada dalam karang dalam sel gastrodermal polip dan tentakel (Levinton, 1995), terjadi melalui beberapa mekanisme terkait dengan reproduksi karang. Setelah beberapa zooxanthellae memasuki tubuh hewan tempat mereka mereka dapat dengan cepat membangun populasi mereka dengan memisahkan (membelah) menjadi dua sel dan berkelanjutan hingga menjadi beberapa sel. Hal ini berarti menunjukkan reproduksi yang berlangsung normal. Berikut gambar proses pembelahan selnya :

Tulisan merupakan tugas koralogi kelompok 1 IK’08


DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2010 a. http://www.columbia.edu/itc/ (Tanggal download : 7 Desember 2010)
Anonimus. 2010 b. An Introduction to Coral Reefs. http:// manta.uvi.edu/coralreefer/ (Tanggal download : 7 Desember 2010)
Barnes, R. 1987. Invertebrate Zoology; Fifth Edition. Orlando.
Barnes, R. and R. Hughes. 1999. An Introduction to Marine Ecology; Third Edition. Malden, MA: Blackwell Science Publication.
Lalli, C.M., and T. Parsons. 1995. Biological Oceanography: An Introduction. Oxford: Butterworth-Heinemann Ltd.
Levinton, J. S. 1995. Marine Biology: Function, Biodiversity, Ecology. New York: Oxford University Press.
Muller-Parker, G dan C.F. D’Elia. 1997. Interaction Between Corals and Their Symbiotic Algae. In. Life and Death of Coral Reefs. Charles Birkeland (Ed.). Chapman &Hall. New York. Hal..96-113.
Rowan, R. and D. A. Powers. 1991. A Molecular Genetic Classification of Zooxanthellae and the Evolution of Animal-Algal Symbioses. Science, Vol. 251:1348-1351.

baca selengkapnya......

Selasa, 16 November 2010

Rumput Laut Jadi Sumber Energi Alternatif

OLEH: AJU


Pontianak – Menteri Kelautan dan Perikanan Fadel Muhammad menyerahkan bantuan secara simbolis Rp 5,8 mi­liar kepada petani pembudi daya rumput laut (gracilaria sp) saat mendampingi kunjungan kerja Wakil Presiden Boediono di Ambon, Provinsi Maluku, 5–6 November 2010 lalu.

Penyerahan bantuan merupakan tindak lanjut ditemukannya teknologi rumput laut sebagai salah satu sumber energi terbarukan, selain kelapa sawit (elaeis), tebu (Saccharum officanarum L), dan jarak pagar (Jatropha curcas L). Pemerintah Indonesia dan Korean Institute of Technology (Khech) bekerja sama membuat model pemanfaatan rumput laut sebagai bahan bakar di Provinsi Sulawesi Barat dan Provinsi Bangka Belitung.
Kepala Pusat Data, Statistik, dan Informasi Kementerian Ke­lautan dan Perikanan, Soe’nan Poernomo, menegaskan, budi daya rumput laut secara besar-besaran terhitung tahun 2010, membuat pemerintah sangat optimistis target peningkatan produksi meningkat dari 2,6 juta ton tahun 2010 menjadi 10 juta ton pada tahun 2014.
Payung hukum budi daya rumput laut menjadi sumber energi adalah Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi yang mengamanatkan pemerintah wajib menyediakan energi terbaru dan terbarukan sebagai bagian dari diversifikasi energi. Rumput laut dijadikan sumber energi de­ngan terlebih dahulu diproduksi menjadi bioetanol. Bioetanol (C2H5OH) merupakan cairan biokimia hasil proses fermentasi gula dari sumber karbohidrat menggunakan bantuan mikroorganisme. Proses pembuatan bioetanol dari rumput laut adalah persiapan bahan baku, yang berupa proses hidrolisis pati menjadi glukosa. Tahap kedua berupa proses fermentasi, mengubah glukosa menjadi etanol dan CO2. Sementara itu, tahap ketiga yaitu pemurnian hasil dengan cara distilasi (penyulingan).
Distilasi adalah metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatitas) bahan. Dalam penyulingan, campuran zat dididihkan ingga menguap, lalu uap ini didinginkan kembali ke dalam bentuk cairan. Zat yang memiliki titik didih lebih rendah akan menguap lebih dulu. Metode ini termasuk sebagai unit operasi kimia jenis perpindahan massa. Penerapan proses ini didasarkan pada teori bahwa pada suatu larutan, masing-masing komponennya akan menguap pada titik didihnya. Model ideal distilasi didasarkan pada Hukum Raoult dan Hukum Dalton.

4,5 Juta Hektare
Soe’nan Purnomo me­ngatakan, Indonesia memang sangat berpotensi menjadi produsen rumput laut terbesar di dunia. Asumsinya, Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar dan terluas di dunia dengan luas areal teluk yang bisa dimanfaatkan budi daya rumput laut seluas 4,5 juta hektare. Per hektare areal teluk mampu memproduksi rumput laut minimal 25 ton per tahun, dengan tenggat panen tiga kali per tahun. Sementara itu, kebutuhan industri kimia, energi, kosmetik, pangan, dan farmasi dunia akan rumput tanpa batas. Artinya, berapa pun produksi rumput laut Indonesia, pasti akan terserap di pasaran ekspor, asalkan diolah sesuai standar mutu.
Kebutuhan per tahun Industri hidrokolid RL dunia(turunan rumput laut) mencakup 9.000 ton agar-agar, 22.000 ton karaginan, dan 50.000 ton alginate, dengan kenaikan 7,5 persen per tahun. Butuh bahan baku 40.000 ton ,; 130.000-150.000 ton carragenophyte, dan 300.000 ton alginophyte.
Pemroduksi industri karaginan meliputi Amerika Serikat, Denmark, Prancis, Irlandia, Portugal, Filipina, dan Jepang. Produser industri alginate terutama Norwegia, China, serta produser utama industri agar-agar meliputi Jepang, Korea, dan Cile.
Menurut Soe’nan, budi daya rumput laut sangat sederhana dan sama sekali tidak membutuhkan pakan. Budi daya rumput laut cukup bermodal­kan tali memanjang sebagai pengikat bibit, lalu tiga bulan kemudian dipanen. Untuk menghindari hama binatang penyu (chelonians), bibit rumput laut yang disemai cukup diberi jaring maupun kandang di dalam laut. Peme­rintah berhasil menemukan rumput laut sebagai salah satu sumber bahan baku energi terbaru.
Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) mengakui, Indonesia belum memiliki pemanfaatan secara signifikan (energi terbarukan seperti pemanfaatan energi surya, angin, dan etanol. Padahal, sumber energi minyak bumi, gas, dan batu bara ketersediaannya semakin terbatas. Jika dihitung, ketersedia­an energi yang ada, dengan rata-rata produksi saat ini, maka diperkirakan minyak bumi hanya mampu bertahan sekitar 24 tahun, gas hanya cukup bertahan sampai 59 tahun. Sementara itu, batu bara berkisar 93 tahun.
Penggunaan energi terbarukan yang belum optimal termasuk penggunaan geotermal maupun bioetanol disebabkan konsumsi energi saat ini masih didominasi energi minyak, gas, dan batu bara yang merupakan energi fosil yang sangat terbatas.
Penemuan sumber energi terbarukan seperti dari rumput laut dan minyak mentah kelapa sawit, diharapkan secara bertahap menghentikan ketergantungan pemerintah dan masyarakat Indonesia terhadap bahan bakar fosil.n

Sumber. sinarharapan.co.id kamis 11 november 2010

baca selengkapnya......

Sumber Energi Arus : Alternatif Pengganti BBM, Ramah Lingkungan, dan Terbarukan

Erwandi (Laboratorium Hidrodinamika Indonesia, BPP Teknologi)

Saat ini sebagian besar energi yang digunakan rakyat Indonesia berasal dari bahan bakar fosil, yaitu bahan bakar minyak, gas, dan batu bara.
Kerugian penggunaan bahan bakar fosil ini selain merusak lingkungan, juga tidak terbarukan (nonrenewable) dan tidak berkelanjutan (unsustainable). Bahan bakar fosil semakin habis dan sebentar lagi Indonesia akan menjadi pengimpor BBM.

Beban kerugian yang disangga bangsa Indonesia semakin berkali lipat dengan naiknya harga BBM di pasaran dunia sampai lebih dari 60 dollar AS per barrel. Untuk mengatasi kerugian akibat kenaikan harga BBM tersebut, pemerintah telah melakukan langkah-langkah penghematan dengan cara mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2005.
 
Kebijaksanaan
Untuk mendukung kebijaksanaan pemerintah, perlu dilakukan langkah-langkah pencarian sumber-sumber energi alternatif yang ramah lingkungan serta terbarukan. Berdasarkan tempatnya, ada dua sumber energi alternatif, yakni sumber energi alternatif yang berasal dari daratan dan sumber energi yang berasal dari laut. Untuk Jawa yang padat penduduknya, pembangunan fasilitas pembangkit listrik dengan energi alternatif yang berasal dari daratan kemungkinan akan mengalami kendala peruntukan lahan.
Sebagai negara kepulauan yang besar, laut Indonesia menyediakan sumber energi alternatif yang melimpah. Sumber energi itu meliputi sumber energi yang terbarukan dan tak terbarukan. Selain minyak bumi di lepas pantai dan laut dalam, sumber energi yang tak terbarukan yang berasal dari laut dalam di wilayah Indonesia adalah methane hydrate. Methane hydrate adalah senyawa padat campuran antara gas methan dan air yang terbentuk di laut dalam akibat adanya tekanan hidrostatik yang besar dan suhu yang relatif rendah dan konstan di kedalaman lebih dari 1.000 meter.
Sumber energi yang terbarukan dari laut adalah energi gelombang, energi yang timbul akibat perbedaan suhu antara permukaan air dan dasar laut (ocean thermal energy conversion/OTEC), energi yang disebabkan oleh perbedaan tinggi permukaan air akibat pasang surut dan energi arus laut. Dari keempat energi ini hanya energi gelombang yang tidak dapat diprediksi kapasitasnya dengan tepat karena keberadaan energi gelombang sangat bergantung pada cuaca. Sedangkan OTEC, energi perbedaan tinggi pasang surut serta energi arus laut dapat diprediksi kapasitasnya dengan tepat di atas kertas.
 
Wilayah Indonesia
Untuk wilayah Indonesia, energi yang punya prospek bagus adalah energi arus laut. Hal ini dikarenakan Indonesia mempunyai banyak pulau dan selat sehingga arus laut akibat interaksi Bumi-Bulan-Matahari mengalami percepatan saat melewati selat-selat tersebut. Selain itu, Indonesia adalah tempat pertemuan arus laut yang diakibatkan oleh konstanta pasang surut M2 yang dominan di Samudra Hindia dengan periode sekitar 12 jam dan konstanta pasang surut K1 yang dominan di Samudra Pasifik dengan periode lebih kurang 24 jam. M2 adalah konstanta pasang surut akibat gerak Bulan mengelilingi Bumi, sedangkan K1 adalah konstanta pasang surut yang diakibatkan oleh kecondongan orbit Bulan saat mengelilingi Bumi.
Interaksi Bumi-Bulan diperkirakan menghasilkan daya energi arus pasang surut setiap harinya sebesar 3.17 TW, lebih besar sedikit dari kapasitas pembangkit listrik yang terpasang di seluruh dunia pada tahun 1995 sebesar 2.92 TW (Kantha & Clayson, 2000). Namun, untuk wilayah Indonesia potensi daya energi arus laut tersebut belum dapat diprediksi kapasitasnya.

Keuntungan penggunaan energi arus laut adalah selain ramah lingkungan, energi ini juga mempunyai intensitas energi kinetik yang besar dibandingkan dengan energi terbarukan yang lain. Hal ini disebabkan densitas air laut 830 kali lipat densitas udara sehingga dengan kapasitas yang sama, turbin arus laut akan jauh lebih kecil dibandingkan dengan turbin angin. Keuntungan lainnya adalah tidak perlu perancangan struktur yang kekuatannya berlebihan seperti turbin angin yang dirancang dengan memperhitungkan adanya angin topan karena kondisi fisik pada kedalaman tertentu cenderung tenang dan dapat diperkirakan.
Kekurangan dari energi arus laut adalah output-nya mengikuti grafik sinusoidal sesuai dengan respons pasang surut akibat gerakan interaksi Bumi-Bulan-Matahari. Pada saat pasang purnama, kecepatan arus akan deras sekali, saat pasang perbani, kecepatan arus akan berkurang kira-kira setengah dari pasang purnama. Kekurangan lainnya adalah biaya instalasi dan pemeliharaannya yang cukup besar. Kendati begitu bila turbin arus laut dirancang dengan kondisi pasang perbani, yakni saat di mana kecepatan arus paling kecil, dan dirancang untuk bekerja secara terus-menerus tanpa reparasi selama lima tahun, maka kekurangan ini dapat diminimalkan dan keuntungan ekonomisnya sangat besar. Hal yang terakhir ini merupakan tantangan teknis tersendiri untuk para insinyur dalam desain sistem turbin, sistem roda gigi, dan sistem generator yang dapat bekerja secara terus-menerus selama lebih kurang lima tahun.
Dari penelitian PL Fraenkel (J Power and Energy Vol 216 A, 2002) lokasi yang ideal untuk instalasi pembangkit listrik tenaga arus mempunyai kecepatan arus dua arah (bidirectional) minimum 2 meter per detik. Yang ideal adalah 2.5 m/s atau lebih. Kalau satu arah (sungai/arus geostropik) minimum 1.2-1.5 m/s. Kedalaman tidak kurang dari 15 meter dan tidak lebih dari 40 atau 50 meter. Relatif dekat dengan pantai agar energi dapat disalurkan dengan biaya rendah. Cukup luas sehingga dapat dipasang lebih dari satu turbin dan bukan daerah pelayaran atau penangkapan ikan.
 
Simulasi numerik
Simulasi numerik potensi daya listrik di beberapa daerah di Indonesia telah dilakukan oleh Laboratorium Hidrodinamika Indonesia BPP Teknologi. Gambar di bawah ini merupakan contoh hasil simulasi potensi daya listrik di selat Bali dan Lombok dengan menggunakan program MEC-Model buatan Research Committee of Marine Environment, The Society of Naval Architects of Japan. Dengan asumsi efisiensi turbin sebesar 0,593 dan menggunakan kecepatan arus rata-rata selama satu periode pasang surut (residual current) untuk tidal constant M2, potensi daya listrik di beberapa tempat di selat Bali pada kedalaman 12 meter, kondisi pasang perbani, dapat mencapai 300 kW bila menggunakan daun turbin dengan diameter 10 meter. Untuk selat Badung dan selat Lombok bagian selatan potensi energinya berkisar 80-90 kW.
Hasil numerik tersebut dapat digunakan sebagai dasar pemilihan lokasi untuk instalasi turbin arus. Hasil ini masih bersifat global dan kasar. Untuk mengetahui karakteristik kecepatan arus secara lebih detail di tempat-tempat terpilih, perlu diadakan survei lapangan atau simulasi numerik detail dengan menggunakan program khusus Full-3D yang juga disediakan oleh MEC-Model program.
Ada dua jenis rotor (daun turbin) untuk konversi energi kinetik, yang pertama adalah jenis rotor yang mirip dengan kincir angin. Tipe ini sering disebut juga dengan turbin dengan poros horizontal. Yang kedua adalah cross-flow rotor atau rotor Darrieus. Ini adalah tipe turbin dengan poros vertikal karena porosnya tegak lurus dengan arah arus. Menurut PL Fraenkel, rotor Darrieus mempunyai beberapa kekurangan, rotor tidak dapat langsung berputar, kalau sudah berputar sulit dihentikan bila ada keadaan darurat, dan butuh ongkos tambah untuk konstruksinya. Untuk mempertinggi efisiensi, kedua tipe rotor ini biasanya ditambahi dengan nozzle, duct, atau venturi untuk mempercepat aliran arus yang masuk ke piringan daun rotor.
Dewasa ini penelitian tentang teknologi konversi arus laut menjadi energi listrik sedang berlangsung sangat gencar. Inggris sudah memasang prototipe skala penuh dengan kapasitas 300 MW di Foreland Point, North Devon, pada Mei 2003. Norwegia juga telah melakukan instalasi di Kvalsundet Hammerfest dengan kapasitas 700 MW. Jepang, dengan menggunakan program MEC-Model, melakukan studi kelayakan pemasangan turbin di Selat Kanmon antara Pulau Honshu dan Kyushu. Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia seharusnya mulai meneliti secara intensif potensi energi arus laut ini dan memanfaatkannya untuk menghadapi bencana krisis energi karena masalah kenaikan harga dan langkanya BBM.
Sumber : Kompas (29 Agustus 2005)

baca selengkapnya......

Selasa, 09 November 2010

KEBIJAKAN HUTAN MANGROVE DI INDONESIA

Departemen Kehutanan sebagai departemen teknis yang mengemban tugas dalam pengelolaan hutan, maka landasan dan prinsip dasar yang dibuat harus berdasarkan peraturan yang berlaku, landasan keilmuan yang relevan, dan konvensi-konvensi internasional terkait dimana Indonesia turut meratifikasinya. Kebijakan tersebut adalah sebagai berikut:

A.   Pengelolaan Hutan Lestari
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan, dan oleh karena itu, maka pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan (Pasal 2). Selanjutnya dalam kaitan kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi (Pasal 43).
Adapun berdasarkan statusnya, hutan terdiri dari hutan negara dan hutan hak (pasal 5, ayat 1). Berkaitan dengan hal itu, Departemen Kehutanan secara teknis fungsional menyelenggarakan fungsi pemerinthan dan pembangunan dengan menggunakan pendekatan ilmu kehutanan untuk melindungi, melestarikan, dan mengembangkan ekosistem hutan baik mulai dari wilayah pegunungan hingga wilayah pantai dalam suati wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS), termasuk struktur sosialnya. Dengan demikian sasaran Departemen Kehutanan dalam pengelolaan hutan mangrove adalah membangun infrastruktur fisik dan sosial baik di dalam hutan negara maupun hutan hak. Selanjutnya dalam rangka melaksanakan fungsinya, Departemen Kehutanan sebagai struktur memerlukan penunjang antara lain teknologi yang didasarkan pada pendekatan ilmu kelautan (sebagai infrastruktur) yang implementasinya dalam bentuk tata ruang pantai.

B.   Desentralisasi Kewenangan Pengelolaan
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, maka kewenangan Pemerintah (pusat) dalam rehabilitasi hutan dan lahan (termasuk hutan mangrove) hanya terbatas menetapkan pola umum rehabilitasi hutan dan lahan, penyusunan rencana makro, penetapan kriteria, standar, norma dan pedoman, bimbingan teknis dan kelembagaan, serta pengawasan dan pengendalian. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan (pada hutan produksi, hutan lindung, hutan hak, dan tanah milik) diselenggarakan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawsan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah (pusat).

C.   Konservasi dan Rehabilitasi Secara Partisipatif
Dalam program konservasi dan rehabilitasi hutan mangrove, pemerintah lebih berperan sebagai mediator dan fasilitator (mengalokasikan dana melalui mekanisme yang ditetapkan), sementara masyarakat sebagai pelaksana yang mampu mengambil inisiatif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah disebutkan bahwa penggunaan dana reboisasi sebesar 40% dialokasikan kepada daerah penghasil untuk kegiatan reboisasi-penghijauan dan sebesar 60% dikelola Pemerintah Pusat untuk kegiatan reboisasi. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 104 Tahun 2000 tentang Dana Perimbangan disebutkan bahwa Dana Reboisasi sebesar 40% dialokasikan sebagai Dana Alokasi Khusus (DAK) untuk rehabilitasi hutan dan lahan di daerah penghasil (kabupaten/kota) termasuk untuk rehabilitasi hutan mangrove.
Hingga saat ini Departemen Kehutanan telah mengkoordinasi dengan Departemen Keuangan, Departemen Dalam Negeri dan Otonomi Daerah serta Bappenas untuk mempersiapkan penyaluran dan pengelolaan DAK-DR dimaksud.

D.   Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Hutan Mangrove
Di dalam menyelenggarakan kewenangannya dalam pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan membawahi Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang bekerja di daerah, yaitu Balai Pengelolaan DAS (BPDAS) akan tetapi operasional penyelenggaraan rehabilitasi dilaksanakan Pemerintah Propinsi dan terutama Pemerintah Kabupaten/Kota (dinas yang membidangi kehutanan).
Sedangkan untuk meningkatkan intensitas penguasaan teknologi dan diseminasi informasi mangrove, Departemen Kehutanan sedang mengembangkan Pusat Rehabilitasi Mangrove (Mangrove Centre) di Denpasar – Bali (untuk wilayah Bali dan Nusa Tenggara) yang selanjutnya akan difungsikan untuk kepentingan pelatihan, penyusunan dan sebagai pusat informasi. Untuk kedepan sedang dikembangkan Sub Centre Informasi Mangrove di Pemalang – Jawa Tengah (untuk wilayah Pulau Jawa), di Sinjai – Sulawesi Selatan (untuk wilayah Sulawesi, Maluku dan Irian Jaya), di Langkat – Sumatera Utara (untuk wilayah Sumatera dan Kalimantan).
Adapun untuk mengarahkan pencapaian tujuan sesuai dengan jiwa otonomi daerah, Pemerintah (pusat) telah menetapkan Pola Umum dan Standar serta Kriteria Rehabilitasi Hutan dan Lahan (Keputusan Menteri Kehutanan No. 20/Kpts-II/2001), termasuk di dalamnya rehabilitasi hutan yang merupakan pedoman penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah (Propinsi dan Kabupaten/Kota) serta masyarakat.
Strategi yang diterapkan Departemen Kehutanan untuk menuju kelestarian pengelolaan hutan mangrove: (1) Sosialisasi fungsi hutan mangrove, (2) Rehabilitasi dan konservasi, (3) Penggalangan dana dari berbagai sumber. 

POKOK – POKOK KEGIATAN MANGROVE
Dalam upaya pengelolaan hutan mangrove, Departemen Kehutanan telah, sedang, dan akan melakukan kegiatan-kegiatan baik dalam bentuk kegiatan operasional teknis di lapangan maupun yang bersifat konseptual. Kegiatan-kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
  1. Operasional Teknis
    Sejak Tahun Anggaran 1994/1995 sampai dengan Tahun Dinas 2001, kegiatan operasional teknis yang dilaksanakan di lapangan oleh Balai/Sub Balai RLKT (sekarang bernama Balai Pengelolaan DAS) sebagai Unit Pelaksana Teknis Departemen Kehutanan adalah rehabilitasi hutan mangrove di luar kawasan hutan dan di dalam kawasan hutan seluas 22.699 Ha melalui bantuan bibit, pembuatan unit percontohan empang parit dan penanaman/rehab bakau, yang tersebar di 18 Propinsi.
  2. Penyusunan Strategi Nasional Pengelolaan Mangrove
  3. Inventarisasi kerusakan hutan mangrove (22 Propinsi)
  4. Penyusunan basis data pengelolaan hutan mangrove
  5. Penyusunan Rencana Tata Ruang Daerah Pantai Kabupaten


    sumber http://www.dephut.go.id/INFORMASI/RRL/RLPS/mangrove.htm  

baca selengkapnya......

Jumat, 05 November 2010

Teknik Transplantasi Karang Seharusnya Disesuaikan Dengan Tujuannya

Transplantasi karang dapat dilakukan untuk berbagai tujuan yaitu : (1). Untuk pemulihan kembali terumbu karang yang telah rusak; (2).Untuk pemanfaatan terumbu karang secara lestari (perdagangan karang hias); (3).Untuk perluasan Terumbu Karang; (4). Untuk tujuan pariwisata;(5). Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan status terumbu karang; (6). Untuk tujuan perikanan; (7). Terumbu karang buatan; (8.) Untuk tujuan penelitian.

1.Transplantasi karang untuk tujuan pemulihan terumbu karang yang telah rusak.
Disini, transplantasi karang dilakukan dengan memindahkan potongan karang hidup dari terumbu karang yang kondisinya masih baik ke lokasi terumbu karang telah rusak dengan mengikuti prosedur sebagai berikut:
a.       Pertama-tama, kita harus mencari lokasi pengambilan bibit di sekitar terumbu karang yang telah rusak, yang kondisi terumbu karangnya masih baik, misalnya persen tutupan karang hidup lebih dari 40%, dan mempunyai kondisi lingkungan( kedalaman dan keadaan arus ) sama dengan lokasi terumbu karang yang telah rusak tadi, dan jaraknya paling jauh dari lokasi transplantasi tidak melebihi satu jam pelayaran. Maka untuk transplantasi karang, pelaksana harus sudahmempunyai lokasi tempat pengambilan bibit, disertai dengan data persen cover karang hidup dan keragaman jenis karang sebelum pengambilan bibit.
b.      Pengambilan bibit dilakukan dengan memotong cabang karang induk di tempat,dan tidak melakukan pemotongan koloni karang induk yang letaknya saling berdekatan untuk menghindari kerusakan ekosistem secara menyolok.
c.       Lokasi pengambilan bibit tidak boleh jauh dari lokasi penanaman untuk menjaga agar transportasi bibit lewat udara tidak lebih dari satu jam.
2. Untuk tujuan pemanfaatan terumbu karang secara lestari / perdagangan karang hias.
Transplantasi untuk tujuan perdagangan karang hias, dilakukan dengan memindahkan potongan jenis-jenis karang hias yang diperdagangkan ke substrat buatan yang diletakkan di sekitar habitat terumbu karang alami, yang nantinya akan menjadi induk karang hias yang akan diperdagangkan, dengan mengikuti prosedur sebagai berikut:
a.       Transplantasi karang untuk tujuan perdagangan karang hias hanya boleh dilakukan olehÿpengusaha karang hias yang sudah mempunyai izin sebagai eksportir karang hias.
b.      Jenis-jenis karang hias yang dibiakkan adalah jenis-jenis karang hias yang diperdagangkan untuk pembuatan aquarium, dan tidak diperdagangkan sebagai karang mati.
c.       Jumlah bibit karang hias yang akan ditanam sebagai induk karang hias merupakan bagian dari kuota karang hias yang telah memperoleh persetujuan dari MA
d.      Sebelum pembiakan dilakukan, pengusaha harus melaporkan kepada MA tentang waktu kapan penanaman bibit karang hias itu dimulai, lokasi pembiakan, jumlah danjenis karang hias yang akan ditanam.
3. Transplantasi untuk tujuan perluasan terumbu karang
Perluasan terumbu karang dapat diartikan sebagai suatu usaha untuk membuat habitat terumbu karang baru, atau merubah habiat lain diluar habitat terumbu karang menjadi habitat terumbu karang. Di kawasan ekosistem terumbu karang sendiri, tidak semua dasar lautnya merupakan habitat terumbu karang. Bagian-bagian dasar laut yang bukan habitat terumbu karang itu, mungkin karena di tempat itu ombaknya terlalu besar, karena banyaknya endapan, karena arus yang terlalu kencang, karena kedalamannya yang melebihi batas kedalaman karang hidup, atau karena banyaknya kegiatan manusi..Maka trasplantasi karang untuk tujuan perluasan terumbu karang di ekosistem terumbu karang, perlu memperhatikan factor-faktor penyebab tidak adanya kehidupan karang di tempat tersebu, kemudian merencanakan suatu model substrat buatan yang dapat meniadakan pengaruh factor penyebab tersebut. Perluasan terumbu karang dapat dilakukan di rataan terumbu ( reef flat) yang pada waktu air surut rendah masih tergenang air setinggi 0.5 meter, di tempat-tempat yang berdekatan dengan desa pesisir untuk meningkatkan kepedulian akan status terumbu karang, meningkatkan rasa memiliki dan meningkatkan kesadaran untuk melindungi sumberdaya terumbu karang; dan di sekitar fasilitas wisata untuk meningkatkan daya tarik objek pariwisata. Sedangkan persyaratan teknik pengambilan bibit dan tempat pengambilan bibit sama dengan persyaratan pada bitir satu di atas.

4.Transplantasi karang untuk tujuan pariwisata.
Transplantasi karang untuk tujuan wisata, dibedakan dari transplantasi karang untuk tujuan perluasan terumbu karang, karena kawasan wisata tidak selalu merupakan kawasan ekosistem terumbu karang, tetapi biasanya mempunyai laut yang tenang dengan perairan jernih dan tidak membahayakan bagi wisatawan yang ingin mandi di laut. Tidak adanya terumbu karang di kawasan ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya substrat dasar yang keras tempat menempel larva karang. Tujuan transplantasi karang disini adalah untuk membuat habitat terumbu karang yang kaya keaneka ragaman hayatinya. Atau membuat panorama yang indah didasar laut seperti halnya di ekosistem terumbu karang Untuk itu bibit karang yang akan dipindahkan di situ harus terdiri dari jenis-jenis karang yang beraneka ragam bentuk dan warnanya. Demikian pula substrat dasar buatan yang akan pakai harus menggambarkan bentuk dasar yang menarik dan tahan terhadap arus dan air laut. ( dibuat sepermanen mungkin).. Pemrakarsa transplantasi karang harus membuat peta lokasi trasplantasi karang menurut kelompok / jenis karang yang ditransplantasikan, beserta kedalamannya. ( Peta ini untuk menjelaskan karang jenis apa, dimana). Peta ini penting baik untuk wisatanya maupun untuk pemantauannya. Persyaratan tempat pengambilan bibit dan teknik pengambilan bibit sama dengan butir 1 diatas.

5.Transplantasi karang untuk tujuan meningkatkan kepedulian akan statusterumbu karang, meningkatkan rasa memiliki dan kesiapan untuk melindungi sumber daya terumbu karang.
Disini,transplantasi karang harus dilakukan oleh masyarakat nelayan yang sudah menyadari dampak negatif yang dideritanya akibat rusaknya terumbu karang di sekitarnya. Untuk dapat melaksanakan transplantasi sebaik -baiknya, mereka harus memperoleh latihan tentang teknik transplantasi karang secara lengkap, dengan pen- jelasan mengapa teknik tersebut harus dilakukan. ( termasuk cara penentuan lokasi pembibitan, cara pengambilan bibit dari induknya, cara pengangkutan bibit, cara penempelan bibit pada substratnya dan selanjutnya cara pemeliharaannya ). Untuk meningkatkan kepedulian masyarakat akan status terumbu karang, secara bertahap transplantasi karang perlu terus dilakukan sampai semua terumbu karang yang telah rusak itu pulih kembali.Dengan menjaga keutuhan hasil transplantasi karang itu, masyarakat nelayan akan dapat merasakan hasilnya. Karena dengan pulihnya kondisi terumbu karang, hewan laut termasuk ikannya juga akan bertambah banyak. Dengan melaksanakan semua kegiatan seperti tersebut diatas dan mendapatkan hasil yang diperolehnya dari kegiatan tersebut, akan meningkatkan kepedulian nelayan untuk melindungi sumber daya terumbu karangnya.


6.Transplantasi karang untuk tujuan pengelolaan perikanan.
Untuk meningkatkan produksi perikanan, transplantasi karang dapat dilakukan di lokasi yang miskin ikan, dengan harapan adanya transplantasi karang tersebut dapat mendatangkan banyak ikan, dapat merubah habitat yang bukan habitat terumbu karang menjadi habitat terumbu karang. Untuk itu diperlukan substrat dasar yang tahan lama, tidak tererosi air laut, dan dapat ditempeli larva karang. Konstruksi substrat dasar tersebut harus dibuat sedemikian rupa sehingga tersedia rongga-rongga yang dapat digunakan untuk berlindung ikan-ikan besar. Dengan konstruksi substrat dasar sperti itu, pertumbuhan karang hasil transplantasi akan menjadi lebih cepat karena hasil perkembang biakan karang secara generatif dapat langsung menempel pada substrat dasar tadi, diikuti penempelan biota laut lainnya. Transplantasi karang seperti ini dapat menjadi atraksi untuk wisatawan atau untuk daerah perikanan baru bagi masyarakat nelayan. Persyaratan tempat pengambilan bibit dan teknik pengambilan bibit tetap sama seperti pada butir1.

7.Terumbu karang buatan.
Istilah terumbu karang buatan yang sekarang ini berkembang di Indonesia , adalah murni "Fish Aggregation Device" (FAD), yaitu suatu cara yang digunakan untuk merubah suatu perairan yang sepi ikan menjadi perairan yang banyak ikan. Disini tidak dipersoalkan apakah konstruksi yang dibuat itu dapat ditumbuhi karang atau tidak. Yang penting dengan konstruksi yang diletakkan di dasar laut dapat menyebabkan berkumpulnya ikan di sekitar konstruksi tersebut. Terumbu karang buatan untuk meningkatkan produksi perikanan, banyak terbuat dari ban mobil bekas yang disusun demikian rupa sehingga dapat menjadi pelindung ikan-ikan yang biasa berlalu lalang di perairan tersebut. Terumbu karang buatan seperti itu, sudah jelas tidak untuk menumbuhkan karang, karena larva karang rupanya tidak dapat menempel pada ban mobil. Terumbu karang buatan seperti ini seharunya tidak diletakkan di kawasan terumbu karang; pertama karena di kawasan terumbu karang biasanya sudah kaya akan ikan, kedua karena dikhawatirkan bahan konstruksi terumbu karang buatan itu dapat mencemari ekosistem terumbu karang. Dimasukkannya terumbu karang buatan didalam pengelolaan ekosistem terumbu karang, adalah sebagai salah satu upaya meniadakan/ mengurangi penangkapan ikan di terumbu karang. Maka terumbu karang buatan dibangun di sekitar terumbu karang, sehingga nelayan tidak lagi menangkap ikan di terumbu karang, tetapi berpindah di terumbu karang buatan. Terumbu karang buatan itu dapat diletakkan di tengah-tengah jarak antara tempat tinggal nelayan dan terumbu karang, pada kedalaman tidak lebih dari 15 meter supaya mudah dipantau, sekaligus dapat berfungsi sebagai penghalang kapal pukat harimau yang sering menimbulkan konflik dengan nelayan tradisional.

8.Transplantasi karang untuk tujuan penelitian.
Transplantasi untuk tujuan penelitian, biasanya dilakukan oleh peneliti terumbu karang atau oleh mahasiswa dibawah bimbingan seorang peneliti senior yang sudah mempunyai pemahaman secara mendalam mengenai bagaimana melaksanakan transplantasi tanpa merusak lingkungan ekosistem terumbu karang, apapun tujuannya. Dibedakan dari persyaratan yang harus dilakukan oleh pelaksana keenam transplantasi diatas, transplantasi untuk tujuan penenitian ini diberbolehkan mengambil bibit di sekitar lokasi penelitian,, dengan teknik pemotongan cabang di tempat, tanpa memindahkan induknya. Karena transplantasi untuk tujuan penelitian biasanya tidak memerlukan banyak specimen, dan dengan biaya dan waktu sangat terbatas.

Kriteria penilaian keberhasilan transplantasi karang.

Secara umum transplantasi karang dapat dikatakan berhasil apabila transplantasi tersebut dapat mencapai tujuannya, dan tidak merusak habitat terumbu karang dan ekosistemnya. Maka criteria penilaian keberhasilan adalah sebagai berikut:
1.Prosedur transplantasi harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh pihak MA.
2.Tidak merusak kondisi terumbu karang tempat pengambilan bibit (dapat dipantau),
3.Dapat mencapai tujuannya
4.Dapat dilaksanakan oleh masyarakat nelayan. 

Source : Dr. Soekarno

baca selengkapnya......

Senin, 01 November 2010

Reproduksi Karang


i
 Imam Bachtiar
Pusat Penelitian Pesisir dan Laut (P3L), Universitas Mataram,
Email: ibachtiar@gmail.com
Sebagian dari tulisan ini dipublikasikan di: Bachtiar, I. (2003). Reproduksi seksual karang scleractinia: telaah pustaka (Reproduction of scleractinian corals: a review). Biota 8(3):131-134.

1. Pendahuluan
Terumbu karang merupakan ekosistem laut yang sangat penting di Indonesia, seperti pentingnya hutan tropis. Pada saat ini laju perusakan terumbu karang jauh di atas laju pemulihannya secara alami, maka rehabilitasi terumbu karang sudah merupakan kebutuhan yang sangat mendesak, seperti yang terjadi pada reboisasi hutan. Karang scleractinia, atau karang batu atau karang hermatipik, merupakan komponen terumbu karang yang paling penting. Karena itu, di dalam upaya rehabilitasi terumbu karang, pengetahuan tentang reproduksi dan rekruitmen karang scleractinia merupakan dua pengetahuan dasar yang sangat penting.
Reproduksi karang scleractinia, selanjutnya secara ringkas disebut repruduksi karang, merupakan salah satu topik dari biologi laut yang sangat kurang dipahami, terutama di Indonesia. Hal ini disebabkan sebagian karena kurangnya penelitian tentang reproduksi karang, sangat sedikitnya jurnal biologi laut yang tersedia, serta kemampuan Bahasa Inggris mahasiswa dan ilmuwan Indonesia yang kurang.
Ketiga faktor tersebut telah membuat pemahaman mahasiswa dan sebagian peneliti Indonesia tentang reproduksi karang banyak yang ketinggalan jaman atau telah kedaluarsa. Pada saat ini masih banyak peneliti karang Indonesia yang menyatakan bahwa sebagian besar karang adalah diocious (berumah dua) dan mengeluarkan larva planulla ketika memijah. Pemahaman ini mareka dapatkan dari buku teks biologi laut yang diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia. Memang sebagian buku tersebut terbit pada tahun 1995-an, tetapi buku-buku tersebut sebenarnya telah diterbitkan sebelum tahun 1984, dalam teks aslinya Bahasa Inggris. Di dalam tahun 1984-1986, terjadi revolusi besar dalam pemahaman manusia tentang reproduksi karang. Tidak adanya akses pada jurnal-jurnal biologi laut, baik karena tidak tersedianya jurnal maupun karena kemampuan bahasa, membuat pengetahuan sebagian peneliti Indonesia tentang reproduksi karang tersebut telah tertinggal jaman.
Telaah pustaka ini dimaksudkan untuk memberikan penyegaran fakta-fakta tentang reproduksi karang di seluruh dunia dan beberapa tambahan data dari Indonesia. Salah satu masalah besaar dalam menemukan data reproduksi karang di Indonesia bukan hanya sedikitnya jumlah peneliti reproduksi karang, tetapi juga kurangnya publikasi, sehingga pengetahuan yang sangat sedikit tersebut menjadi lebih sedikit lagi.

2. Reproduksi Seksual Karang
Pola dan tipe reproduksi karang sangat beragam. Sebagian besar karang adalah monocious (hermaprodit), sebagian yang lain adalah diocious. Dari 210 spesies yang telah diteliti reproduksinya, 143 spesies di antaranya hermaprodit (Richmond and Hunter 1990). Di antara karang-karang tersebut, ada yang melakukan pembuahan internal ada pula yang eksternal. Sebelum ditemukannya pemijahan massal di the Great Barrier Reef (Harrison et al. 1984, Willis et al. 1985), para ahli karang menduga bahwa sebagian besar karang melakukan pembuahan internal. Penelitian yang lebih intensif tentang reproduksi karang setelah ditemukannya pemijahan massal menunjukkan bahwa sebagian besar karang melakukan fertilisasi eksternal. Karang yang melakukan pembuahan internal disebut juga sebagai pengeram (brooders), sedangkan yang menjalani fertilisasi eksternal disebut pemijah (broadcast spawners). Karang pengeram biasanya menghasilkan telur yang lebih sedikit daripada karang pemijah. Mungkin hal ini berhubungan dengan biaya perawatan yang tinggi untuk mengandung embryo (Harrison and Wallace 1990).
Walaupun kebanyakan karang adalah hewan hermaprodit. Beberapa spesies menunjukkan pola seksual yang membingungkan, misalnya Astrangia danae, Heteropsammia cochlea, Porites porites, Porites cylindrica dan Turbinaria mesenterina (Harrison and Wallace 1990). Kelompok karang ini biasanya bersifat gonokhoristik, tetapi kadang-kadang dijumpai bersifat hermaprodit .
Pada saat musim pemijahan, karang pengeram mengeluarkan larva (embryo) dari mulutnya. Sedangkan karang pemijah mengeluarkan sperma dan telur yang belum dibuahi melalui lubang yang sama. Fertilisasi karang pemijah terjadi di dalam air laut. Fertilisasi karang pengeram terjadi di dalam rongga gastrovaskular, dimana telur menetap beberapa hari sebelum pemijahan berlangsung.
Pemijahan biasanya terjadi pada malam hari setelah bulan purnama (Willis et al. 1985) di the Great Barrier Reef. Setelah matahari terbenam dan sebelum bulan purnama muncul, karang memijah di dalam kegelapan. Pemijahan terjadi selama seminggu setelah bulan purnama Oktober atau Nopember. Masing-masing spesies biasanya mempunyai jadwal tertentu untuk memijah setiap tahunnya. Goniastrea aspera, misalnya, memijah pada hari ke 2 hingga ke 4 setelah bulan purnama (Babcock et al. 1986). Pemijahan massal di the Great Barrier Reef ini berlangsung secara konsisten sejak diteliti di tahun 1981 sehingga kapan karang akan memijah telah dapat diramalkan jauh sebelumnya.
Lingkungan tempat hidup karang mempunyai pengaruh yang besar dalam pola reproduksi karang tersebut. Karang Acropora palifera, misalnya, reproduksi setahun sekali di Heron Island (23.5oLS), tetapi reproduksi sepanjang tahun di Lizard Island (14oLS) dan Lae (7oLS) (Kojis 1986). Ini berarti bahwa variasi faktor-faktor lingkungan dari tempat-tempat tersebut sebagai penyebab terjadinya variasi pola-pola reproduksi A. palifera.
Ada empat faktor lingkungan yang diduga paling berperan dalam siklus reproduksi karang, yaitu : suhu air laut, panjang hari (fotoperiod), siklus bulan dan pasang surut (Oliver et al. 1988). Siklus suhu air laut dan fotoperiod diduga sebagai faktor penyelaras jangka panjang yang menyelaraskan proses-proses gametogenesis. Sedangkan siklus bulan dan pasang surut dianggap sebagai faktor penyelaras peristiwa pemijahan.
Dilaporkan bahwa semakin ke arah utara the Great Barrier Reef, semakin kurang selaras pemijahan karang (Oliver et al., 1988). Pemijahan menjadi tidak selaras di dekat ekuator. Di Salamua (Papua New Guinea), misalnya, karang mempunyai masa memijah yang berbeda-beda atau memijah sepanjang tahun (Kojis, 1986). Di Hawaii dan Karibia, pemijahan karang juga tidak terjadi secara singkat dan masal, melainkan berlangsung selama beberapa bulan dengan puncak pemijahan pada bulan-bulan tertentu (Richmond and Hunter, 1990). Semakin mendekati ekuator keselarasan pemijahan masal karang semakin berkurang (Oliver et al., 1988). Karena variasi jarak dari ekuator berhubungan dengan variasi siklus suhu air laut dan fotoperiod, maka diduga kuat bahwa kedua faktor tersebut sangat berperan di dalam penentuan reproduksi karang.
Variasi suhu air laut telah diduga kuat sebagai faktor yang paling berperan dalam pemijahan masal tersebut (Harrison et al. 1984; Babcock et al. 1986). Semakin besar variasi tahunan temperatur air laut, semakin tinggi proporsi karang yang memijah bersama (Richmond and Hunter 1990). Tetapi pengamatan di lapangan lebih banyak menimbulkan teka-teki. Di C, tetapi°Samoa, misalnya, variasi temperatur air laut hanya sekitar 2.5 karang-karang memijah secara masal. Di dalam laboratorium, karang yang dipelihara di air yang lebih hangat, proporsi karang yang memijah bulan Nopember lebih tinggi daripada karang yang dipelihara di suhu air ambang (Bachtiar 1994). Akan tetapi, perkembangan telur dan testes karang yang dipelihara di air hangat tidak berbeda dengan telur dan testes karang yang di air dingin.
Fotoperiod juga diduga banyak mempengaruhi reproduksi karang. Variasi fotoperiod paralel dengan variasi suhu air laut. Maka sulit membedakan apakah suatu variasi gejala yang berkaitan dengan variasi latitudinal disebabkan oleh suhu air laut ataukah oleh fotoperiod. Tetapi karang yang dipelihara selama tiga bulan sebelum musim pemijahan pada tiga macam perlakuan fotoperiod dengan cahaya buatan, tetap memijah pada bulan yang sama (Bachtiar 1994). Percobaan tersebut menunjukan bahwa fotoperiod sendiri bukan faktor yang penting dalam penentuan bulan peimjahan karang di the Great Barrier Reef.
Reproduksi karang di Indonesia belum banyak diketahui. Lokasi geografis Indonesia yang terletak di kawasan tropis, dimana variasi suhu air laut dan panjang hari tidak selebar di The Great Barrier Reef maupun Okinawa, maka diduga bahwa reproduksi karang terjadi sepanjang tahun. Bachtiar (2001) melaporkan bahwa tiga jenis karang yang dominan di perairan barat laut Lombok Barat (Acropora nobilis, A. cytherea dan Hydnophora rigida) mempunyai musim reproduksi yang tidak serentak dan terentang panjang. Pemijahan puncak A. nobilis terjadi setelah purnama bulan Pebruari, dan pemijahan A. cytherea terjadi setelah purnama bulan Januari. Sedangkan karang Hydnophora rigida puncak pemijahannya terjadi dua kali setahun, yaitu setelah purnama bulan Nopember dan sekitar bulan April. Di perairan Laut Jawa, pemijahan karang ternyata tidak sama dengan di Lombok. Di Pulau Panjang, Jepara, karang A. aspera memijah setelah purnama bulan April (Munasik dan Azhari, 2002). Sedangkan di Pulau Karimunjawa, karang A. hyacinthus dan A. humilis dilaporkan memijah pada bulan Oktober (reviewed in Munasik, 2002). Di dalam catatan Munasik (2002), ada 19 jenis karang lainnya di Karimunjawa (Agariciidae, Faviidae, Merulinidae, Pectinida, Poritidae) yang mempunyai musim pemijahan setelah purnama di bulan Oktober dan Nopember. Tetapi semua data musim pemijahan karang di Karimunjawa tidak didapatkan melalui pengamatan histologis, melainkan oleh pengamatan mahasiswa di lapangan. Klarifikasi tentang musim pemijahan beberapa karang di Karimunjawa secara histologis perlu dilakukan sebelum kita menggunakan data tersebut untuk menarik suatu kesimpulan atau menyusun suatu dugaan.

3. Penyebaran Larva Planula
Sebelum ditemukannya pemijahan massal di the Great Barrier Reef, reproduksi karang di seluruh dunia dianggap sama dengan yang diketahui di terumbu karang Karibia, yang didominasi oleh karang pengeram. Karena larva karang pengeram dalam beberapa jam mampu menempel di substrat, maka penyebaran larva karang diduga tidak jauh dari habitat induknya.
Setelah diketahui bahwa karang kebanyakan pemijah gamet yang baru mampu menempel setelah 3 hari atau lebih (Richmond 1988), maka dugaan bahwa gamet dan larva karang dapat disebarkan dalam jarak yang jauh semakin kuat. Pengamatan di the Great Barrier Reef membuktikan bahwa plankton hasil pemijahan karang ditemukan hanyut oleh arus oseanik yang jauh dari terumbu induknya. Dalam 30 jam setelah spawning, plankton karang ditemukan di lokasi sejauh 6.5 km dari terumbu asalnya (Willis and Oliver 1988). Lamanya kompetensi larva planula untuk menempel di substrat yang sesuai memperkuat hipotesis bahwa larva karang dapat tersebar jauh dari terumbu induknya. Larva Acroporidae (Acropora tenuis) akan siap menempel sejak berusia 3 hari hingga 20 hari kemudian, sedangkan larva Pocilloporidae (Pocillopora damicornis) dapat dapat bertahan kompeten di air laut sebagai plankton hingga 100 hari (Richmond 1988). Dalam waktu yang lama tersebut larva planula dapat terseret arus hingga ratusan kilometer dari induknya.
Larva planula dalam 24 jam pertama sebagian besar terkonsentrasi di permukaan air. Semakin lama larva kehilangan keterapungannya (buoyancy) sehingga semakin tenggelam dan larva semakin tersebar di air bagian bawah. Pada hari kelima Willis dan Oliver (1988) menemukan bahwa konsentrasi larva di permukaan tidak berbeda lagi dengan di kedalaman 20 meter.

4. Penempelan (settlement) Larva Planula
Jika tersedia substrat yang sesuai, maka larva planula yang telah kehilangan keterapungan akan menempel, melekat di substrat dan mengalami metamorfosis, yang kemudian tumbuh menjadi rekruit. Penempelan larva dimulai jika larva planula yang kompeten dapat menemukan substrat yang keras. Sebelum menempel, planula berenang-renang di sekitar substrat untuk mencari dan menguji lokasi mana yang akan ditempeli (Harrison and Wallace 1990). Bagian aboral planula diduga mempunyai semacam sensor yang berperan dalam pemilihan substrat tersebut.
Penempelan larva dapat berarti penempelan yang permanen dan diikuti oleh pelekatan dan metamorfosis, dapat juga berarti penempelan sementara saja (Harrison and Wallace 1990). Pada kasus penempelan sementara, planula akan berenang lagi untuk mencari lokasi penempelan lain yang lebih sesuai. Pelekatan larva planula terjadi dengan dikeluarkannya nematocyst dan mucus dari bagian epidermis aboral. Begitu pelekatan selesai, maka planula mengalami metamorfosis dengan terjadinya kontraksi dari arah oral ke aboral, sehingga bagian dasar lebih pipih dari bagian oralnya. Selesainya proses metamorfosis akan segera diikuti oleh proses kalsifikasi, pembentukan sekat-sekat rongga (mesentery) di dalam tubuh, dan pembentukan bakal tentakel. Metamorfosis pada hewan invertebrata biasanya dianggap sebagai proses yang tidak dapat kembali. Metamorfosis larva planula dapat terjadi jika ada perangsang yang berasal dari alga krustosa berkapur, pecahan karang atau kerangka karang (Heyward and Negri 1999).
Penempelan larva planula dapat terhambat jika substrat tertutupi oleh sedimen. Pada kondisi tutupan sedimen sebanyak 95%, telah menghalangi penempelan larva karang Pocillopora damicornis secara total (Hodgson 1990). Sedangkan penurunan tutupan sedimen dari 90% ke 50% tidak memberikan perbedaan jumlah penempelan larva. Babcock dan Davies (1991) juga melaporkan sedimentasi setinggi 3.1 mg cm-2 hari-1 dapat menurunkan jumlah planula karang Acropora millepora yang menempel di substrat.

5. Rekruitmen Karang
Rekruitmen adalah bertambahnya anggota suatu populasi atau komunitas. Karena larva yang baru menempel dan metamorfosis belum dapat dilihat (disensus) dengan mata telanjang, maka pada tahap ini belum terjadi rekruitmen, melainkan penempelan (settlement) larva. Tahapan rekruitmen terjadi setelah rekruit dapat disensus, yaitu setelah berusia beberapa minggu dengan pengamatan mikroskop atau berusia sekitar 8-10 bulan dalam pengamatan in situ (Harrison and Wallace 1990).
Kebanyakan penelitian tentang rekruitmen karang dilakukan dengan menggunakan lempeng penempelan. Disebut demikian karena biasanya berbentuk lempeng, seperti keramik, gelas kaca, dan irisan karang Porites berbentuk lempeng. Lempeng penempelan yang tidak berbentuk lempeng juga pernah digunakan, misalnya balok beton, kerangka karang yang mati atau kubus yang terbuat dari kerangka karang masif. Karena itu membandingkan rekruitmen karang antara penelitian satu dengan yang lainnya hanya dapat dilakukan dengan mengetahui jenis substrat yang digunakan. Hasil penelitian Harriot dan Fisk (1987) menunjukkan bahwa masing-masing substrat mempunyai jenis dan kelimpahan rekruit yang berbeda-beda. Substrat yang diuji adalah petri dishes, keramik mengkilap (glazed ties), keramik tidak mengkilap, potongan karang Porites, potongan karang Platygyra, kerangka karang Acropora palifera, kerangka Platygyra, dan kerangka karang Pocillopora eydouxi.
Wallace (1985) menelaah karakteristik substrat yang baik untuk rekruitmen karang scleractinia. Ia mendapatkan bahwa substrat yang disukai oleh larva planula adalah yang terbentuk dari kalsium karbonat, dan mempunyai permukaan yang kompleks. Permukaan substrat yang kompleks memberikan variasi orientasi penempelan planula dan sekaligus perlindungan dari pemangsaan dan perumputan.
Pada umumnya rekruitmen karang sangat bervariasi secara spasial dan temporal. Rekruitmen karang di terumbu dekat pulau (inshore reef, fringing reef) berbeda dengan di terumbu yang jauh dari pulau (midshelf reef, offshore reef) (Harriot and Fisk 1987, 1988, Babcock 1988, Fisk and Harriot 1990, Sammarco 1991). Tranplantasi rekruit dari terumbu tepi atau dekat pulau ke terumbu yang jauh dari pulau tidak meningkatkan mortalitas rekruit, tetapi transplantasi sebaliknya meningkatkan mortalitas rekruit (Sammarco 1991). Variasi temporal rekruitmen karang banyak tergantung dari musim pemijahan karang. Karang yang memijah sepanjang tahun, misalnya Pocilloporidae, tidak mengalami banyak perbedaan rekruitmen antar waktu.
Pada lempeng penempelan, rekruitmen biasanya ditemukan lebih banyak di permukaan bawah daripada permukaan atas (Harriot and Fisk 1987, Babcock 1988). Tetapi pada penelitian Wallace (1985), keunggulan jumlah rekruit di permukaan atas lempeng penempelan hanya terjadi di lokasi yang dangkal, yaitu rataan terumbu dan gudus. Di tempat yang dalam, tubir, rekruitmen di permukaan atas lebih tinggi daripada di permukaan bawah. Penggunaan lempeng penempelan yang berupa kerangka karang P.oydouxi turut menentukan, mengapa hasil penelitian Wallace (1985) berbeda dengaan hasil penelitian yang lainnya.
Komunitas karang di suatu terumbu tidak ada hubungannya langsung dengan jumlah rekruit. Di Green Island yang komunitas karangnya sudah banyak dihabiskan oleh bintang laut Achanther plancii ternyata mempunyai kelimpahan rekruit yang tinggi (Harriot and Fisk 1987, 1988). Hal ini menunjukkan bahwa larva planula yang menempel di suatu terumbu berasal dari terumbu yang lainnya, dan fekunditas di suatu terumbu tidak ada kaitannya dengan kelimpahan rekruit di terumbu tersebut. Babcock (1988) memperkirakan bahwa larva planula karang mempunyai waktu lebih dari sebulan untuk menempel di substrat yang dipilihnya. Pada periode selama itu planula dapat terhanyut arus ke lokasi yang jauh dari induknya.
Karena rekruit (anakan karang) yang baru menempel tidak bisa diamati dengan mata telanjang, belum diketahui kecepatan pertumbuhannya yang pasti. Perhitungan kecepatan tumbuh rekruit berdasarkan waktu pemijahannya dan perkiraan lamanya menempel di lempeng penempelan (settlement plate) diperkirakan bahwa kecepatan pertumbuhan rekurit sangat lambat, sekitar 5 mm dalam tahun pertama (Harrison and Wallace 1990). Berdasarkan pengamatan rekruit yang tumbuh di substrat beton dan armoflex di Maldives dan waktu pemijahan, Clark and Edwards (1995) melaporkan bahwa rekruit sudah dapat dilihat dengan mata telanjang penyelam setelah berusia lebih dari 10 bulan.
Sebagaimana tipe hewan invertebrate di laut, kelulushidupan rekruit karang biasanya kecil. Sedimentasi disamping dapat menghambat penempelan larva juga dapat menurunkan kelulushidupan rekruit. Organisme lain seperti sponge, hidrozoa, tunicata, dan barnakel diduga mengurangi kelulushidupan rekruit (Harrison and Wallace 1990). Karang lunak Xenia puertogalerae dilaporkan mengurangi jumlah rekruitmen karang di sekitarnya (Atrigenio and Alino 1996). Percobaan Sammarco (1991) juga menunjukkan bahwa rekruit di terumbu dekat pulau mengalami kematian yang tinggi dari kompetisi terhadap ruang.
Tutupan algae yang lebat bisa menghambat penempelan larvae atau menurunkan kelulushidupan rekruit karena kompetisi terhadap ruang. Tetapi banyaknya hewan perumput di terumbu karang membuat keberadaan algae tidak menjadi pembatas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa keberadaan hewan-hewan perumput (grazer) dapat memfasilitasi penempelan larva dan mempertinggi kelulushidupan rekruit (Harrison and Wallace 1990). Perumputan yang sangat intensif memang dapat menghancurkan rekruit di antara algae tersebut. Tetapi ikan dari jenis Acanthuridae dan Scaridae, misalnya, dilaporkan menghindari rekruit yang berukuran >3 mm.

6. Reproduksi dan Rekruitmen Karang Dalam Rehabilitasi
Pengetahuan tentang reproduksi dan rekruitmen karang telah banyak bermanfaat dalam pengembangan teknologi rehabilitasi terumbu karang, yaitu upaya pengembalian prosentase tutupan karang batu. Teknologi rehabilitasi dengan transplantasi anakan (juvenil) karang sudah dilakukan di Filipina (Raymundo et al. 1999) dan di Hawaii dan Guam. Karang dipijahkan dalam laboratorium dan larvanya dibiarkan menempel di substrat yang disediakan. Setelah rekruit tumbuh menjadi juvenil dalam ukuran tertentu, anakan karang tersebut dipindahkan ke terumbu yang rusak. Semakin besaar koloni anakan karang yang dipindahkan, semakin tinggi pula kelulushidupannya. Teknologi transplantasi karang ini mempunyai efektivitas yang lebih baik daripada teknologi yang telah ada sebelumnya, yaitu transplantasi karang (Clark and Edwards 1995).
Akan tetapi, transplantasi anakan karang belum bisa dilakukan di sebagian besar wilayah negara berkembang. Transplantasi anakan karang memerlukan laboraorium biologi laut dan pengetahuan tentang waktu pemijahan karang. Kedua hal tersebut biasanya tidak tersedia di sebagian besar lokasi di Indonesia. Laboratorium biologi laut, misalnya, hanya tersedia kurang dari 10 buah dari 28 propinsi. Informasi tentang waktu pemijahan karang juga sangat sedikit. Maka, penerapan teknologi ini banyak kendalanya di negara berkembang.
Teknologi yang lebih praktis dan murah sudah mulai dikembangkan dengan menempatkan substrat buatan ke terumbu. Thongtham and Chansang (1999) di Phuket, Thailand, dan Bachtiar (2002) di Lombok, Indonesia, membuat substrat beton dan meletakkannya di terumbu yang rusak. Walaupun kedua penelitian tersebut mengunakan ukuran dan bentuk beton yang berbeda, keduanya melaporkan kelimpahan rekruit karang yang lebih tinggi di terumbu yang diberi beton daripada yang hanya dari substrat alami. Fox et al. (2001) juga mengembangkan teknologi yang praktis di Pulau Komodo, dengan cara membersihkan terumbu dari pecahan karang (rubble), membersihkan terumbu dari karang lunak dan menempatkan onggokan batu kali. Penelitian tersebut melaporkan kelimpahan rekruit yang lebih tinggi di ketiga perlakuan dibandingkan dengan di kontrol. Ketiga penelitian tersebut dapat meningkatkan kelimpahan rekruit dengan memberikan substrat yang stabil, karena kestabilan substrat merupakan salah satu syarat utama untuk mencegah kematian pasca penempelan.

7. Penutup
Penelitian tentang reproduksi dan rekruitmen karang masih sangat kurang di Indonesia, sehingga informasi yang tersedia sangat sedikit. Karena itu, penelitian reproduksi karang, terutama karang yang pemijahannya tahunan sangat diperlukan untuk pengembangan teknologi rehabilitasi yang sesuai dengan wilayah target. Karang di Indonesia bagian timur mungkin berbeda musim pemijahannya dibandingkan dengan di Indonesia Barat, karena keduanya mendapat arus yang berbeda dan dipengaruhi oleh siklus suhu air laut yang berbeda pula.
Sedikitnya informasi tentang reproduksi karang dan kurangnya fasilitas laboratorium bukan hambatan yang besar dalam pengembangan teknologi rehabilitasi. Beberapa macam teknologi generik yang murah telah dikembangkan di Indonesia, walaupun penelitian lanjutan masih sangat diperlukan. Kelulushidupan rekruit di substrat buatan, jenis-jenis substrat buatan yang murah dan efektif, dan jumlah serta bentuk substrat buatan yang optimum; semuanya merupakan informasi kunci yang belum didapatkan dalam teknologi generik rehabilitasi terumbu karang.


Daftar Pustaka
Atrigenio, M.P. and Alino, P.M. (1996). The effects of soft coral Xenia puertogalerae on the recruitment of scleractinian corals. J. Exp. Mar. Biol. Ecol. 203(2):179 189.
Babcock, R. (1988) Fine-scale spatial and temporal patterns in coral recruitment. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2::635-639.
Babcock, R. and Davies, P. (1991). Effects of sedimentation on settlement of Acropora millepora. Coral Reefs 9:205 208.
Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1986). Synchronous spawnings of 105 scleractinian coral species on the Great Barrier Reef. Mar. Biol. 90:379-394.
Bachtiar, I. (1994). The Effect of Temperature, Photoperiod and Fragmentation on the Reproduction of Mass Spawning Corals. Thesis. James Cook University of North Queensland. pp.121.
Bachtiar, I. (2001). Reproduction of three scleractinian corals (acropora cytherea, A. nobilis and Hydnophora rigidai) in eastern Lombok Strait, Indonesia. Majalah Ilmu Kelautan (Journal of Indonesian Marine Sciences) 21:18-27.
Bachtiar, I. (2002). Promoting recruitment of scleractinian corals using artificial substrate in the Gili Indah, Lombok Barat, Indonesia. Proc. 9th Int. Coral Reef Symp. Bali 2000. In perss.
Clark, S. and Edwards, A.J. (1995). Coral transplantation as an aid to reef rehabilitation: evaluation of a case study in the Maldives Islands. Coral Reef 14(4):201-213.
Fisk, D.A. and Harriot, V.J. (1990). Spatial and temporal variation in coral recruitment on the Great Barrier reef: implications for dispersal hypotheses. Mar. Biol. 107:485 490.
Harrison, P.L. and Wallace, C.C. (1990). Reproduction, dispersal and recruitment of scleractinian corals. In : Dubinzky, Z. (ed.) Coral Reefs. Elsevier Science Publishers. Amsterdam. pp. 133-207.
Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1987). A comparison of settlement plate types for experiments on the recruitment of scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 37:201 208.
Harriot, V.J. and Fisk, D.A. (1988). Recruitment patterns of scleractinian corals: astudy of three reefs. Aust. J. Mar. Freshwater Res. 46:409-416.
Harrison, P.L., Babcock, R.C., Bull, G.D., Oliver, J.K., Wallace, C.C. and Willis, B.L. (1984). Mass spawning in tropical reef corals. Science 223(1):186-189.
Hatcher, B.G. (1980). Grazing in coral reef ecosystem. In: Barnes, P.J. (ed.) “Perspective on Coral Reefs”. AIMS. Townsville, pp. 164-175.
Heyward, A.J. and Negri, A.P. (1999). Natural inducers for coral larval metamorphosis. Coral Reefs 18:273-279.
Hodgson, G. (1990). Sediment and the settlement of larvae of the reef coral Pocillopora damicornis. Coral Reefs 9:41 43.
Kojis, B.L. (1986). Sexual reproduction of in Acropora (Isopora) (Coelenterata: Scleractinia) II. Latitudinal variation in Acropora palifera from the Great Barrier Reef and Papua New Guinea. Mar. Biol. 91:311-318.
Munasik. 2002. Reproduksi karang di Indonesia: suatu kajian. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.
Munasik and Azhari, A. 2002. Masa reproduksi dan struktur gonad karang Acropora aspera di Pulau Panjang, Jepara. Prosiding Konferensi Nasional III 2002 Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Indonesia 21-24 Mei 2002. In press.
Oliver, J.K., Babcock, R.C., Harrison, P.L. and Willis, B.L. (1988). Geographic extent of mass coral spawning: Clues to ultimate causal factors. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. Australia 2:803-810.
Richmond, R.B. (1988). Competency and dispersal of planullae larvae of a spawning versus a brooding coral. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:827-831.
Richmond, H.R. and Hunter, C.L. (1990). Reproduction and recruitment of corals: comparison among the Carribean, the Tropical Pacific, and the Red Sea. Mar. Ecol. Prog. Ser. 60:185-203.
Sammarco, P.W. (1991). Geographically specific recruitment and postsettlement mortality as influences on coral communities: The cross-continental shelf transplant experiment. Limnol. Oceanogr. 36(3):496-514.
Wallace, C.C. (1985). Seasonal peak and annual fluctuations in recruitment of juvenile scleractinian corals. Mar. Ecol. Prog. Ser. 21:280-298.
Willis, B. L. and Oliver, J.K. (1988). Inter-reef dispersal of coral larvae following the annual mass-spawning of the Great Barrier Reef. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:853-859.
Willis, B.L., Babcock, R.C., Harrison, P.L., Oliver, J.K. and Wallace, C.C. (1985). Patterns in the mass spawning of corals on the Great Barrier Reef from 1981 to 1984. Proc. 6th Int. Coral Reef Symp. 2:343-348.

baca selengkapnya......