Pendahuluan
Menurut Undang-Undang No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, wilayah daerah propinsi terdiri dari wilayah darat dan wilayah laut sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai kearah laut lepas dan/atau kearah perairan kepulauan (Pasal 3 UU No.22/1999), dan kewenangan daerah di wilayah laut meliputi; eksplorasi, eksploitasi, konservasi dan pengelolaan kekayaan laut sebatas wilayah laut tersebut, pengaturan kepentingan administratif, pengaturan tata ruang, penegakan hukum terhadap peraturan yang dikeluarkan daerah atau yang dilimpahkan kewenangannya oleh pemerintah pusat (Pasal 10 ayat 2 UU No.22/1999).
Kewenangan Pemerintah Daerah menurut UU No.22 tahun 1999 mencakup seluruh bidang pemerintah kecuali dalam bidang politik luar negeri, pertahanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan bidang lain. Kewenangan di bidang lain meliputi kebijaksanaan tentang perencanaan nasional dan pengendalian secara makro, dana perimbangan keuangan,system Administrasi Negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi yang strategis, konservasi standarisasi nasional (Pasal 7 UU No. 22 tahun 1999). Sedangkan kewenangan propinsi sebagai daerah otonomi mencakup kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota, kewenangan yang tidak atau belum dapat dilaksanakan Daerah Kabupaten dan Daerah Kota, serta kewenangan dalam bidang pemerintahan tertentu lainnya seperti :
• Perencanaandanpengendalian
• pembangunan regional secara makro.
• Pelatihan bidang tertentu, alokasi sumber daya manusia potensial dan penelitian yang mencakup wilayah propinsi.
• Pengelolaan pelabuhan regional.
• Pengendalian lingkungan hidup
• Promosi dagang, pariwisata/budaya.
• Penanganan penyakit menular hama tanaman.
• Perencanaan tata ruang propinsi
(Kumpulan Makalah Integrated Coastal Zone Planning and Management, PKSPL- IPB. 2001).
Pendefinisian Batas Laut Menurut Undang-Undang No.22/1999
Lahirnya UU No.22/1999 telah membawa harapan baru bagi daerah dalam pembangunanekonomi.Sumberdaya kelautan menjadi andalan utama dalam melakukan pemulihan ekonomi yang diakibatkan oleh krisis ekonomi tahun 1998. Optimalisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut akan mengakibatkan konflik penggunaan ruang karena belum adanya aturan yang jelas tentang penataan ruang di kawasan pesisir. Sumber Daya Alam (SDA)
yang ada di setiap daerah akan menjadi sasaran untuk berbagai kepentingan terutama untuk kepentingan bisnis. Konflik antara nelayan tradisional dengan nelayan modern sering terjadi.
Dalam penjelasan Pasal 10 ayat 2 No.22 tahun 1999 dikemukakan bahwa khusus untuk penangkapan ikan tradisional tidak dibatasi wilayah laut. Pengembangan perikanan propinsi dan daerah kota/kabupaten sulit dibatasi oleh wilayah 12 mil laut dari garis pantai. Penggunaan tipe dan jenis teknologi penangkapan ikan yang berlaku di beberapa daerah sudah melampaui 12 mil tersebut, bahkan nelayan lokal sudah mampu untuk menangkap ikan di perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, seperti, nelayan dari Pantai Utara Jawa Tengah yang menangkap ikan hingga zona ekonomi eksklusif Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Kondisi suatu wilayah terutama wilayah pesisir dari Kabupaten/Kota tidak sama, ada daerah yang mempunyai potensi sumber daya alam yang melimpah, sebaliknya ada daerah yang mempunyai sumber daya alam yang terbatas. Adanya sifat nelayan yang suka berpindah-pindah dari suatu daerah ke daerah yang lain, dan sifat sumber daya ikan yang berpindah melintasi batas-batas wilayah, serta sifat penangkapan ikan yang mengejar atau berburu, maka pengembangan perikanan didalam batas-batas laut yang menjadi wewenang daerah akan sulit dilaksanakan sebab hal ini membutuhkan perencanaandanpengawasanuntuk menghindari penggunaan wilayah oleh nelayan.
Mengingat nilai penting dari suatu wilayah bagi suatu pemerintah daerah (propinsi, kabupaten maupun kota), maka tata nilai batas menjadi hal yang sangat penting tidak hanya bagi daerah yang bersangkutan tetapi juga bagi daerah-daerah yang berbatasan. Oleh sebab itu diperlukan suatu pendefinisian batas yang jelas dan tepat,agar tidak menimbulkan konflik di masa mendatang.
Penentuan batas daerah di darat maupun laut akan melibatkan aspek-aspek teknis dan non- teknis. Penentuan batas pada prinsipnya adalah suatu aplikasi dari penentuan posisi. Penentuan batas ini akan melibatkan aspek-aspek teknis dan non-teknis. Disamping itu implikasinya juga bersifat multi-dimensi, tidak hanya administratif tapi juga ekonomis, yuridis, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan. Secara teknis, penentuan batas suatu wilayah pada prinsipnya terdiri atas dua kegiatan utama yaitu pendefinisian batas dan perekonstruksiannya di lapangan. Perlu dicatat di sini bahwa karena kurangnya obyek-obyek alam yang dapat dijadikan sebagai acuan dan penampakan bentang alam yang relatif serupa, penentuan batas wilayah di laut akan relatif lebih sulit dibandingkan dengan penetapan batas di darat. [Hadwi Soendjojo, 2001]
Menurut pasal 3 UU No. 22 Th. 1999, bahwa wilayah laut suatu propinsi adalah sejauh dua belas mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan. Dengan demikian garis pantai yang diacu harus didefinisikan dan dispesifikasikan secara jelas. Disamping itu perlu diperjelas apakah bentuk garis batas luar di laut akan persis sama dengan bentuk garis pantai, atau apakah bentuk garis pantai akan didekati dengan rangkaian sejumlah garis baseline sepanjang pantai.
Aspek Teknis Pembatasan Wilayah Laut
Dalam Undang Undang No. 22 Tahun 1999
a. Garis Pantai
Dalam UU no. 22 tahun 1999 Pasal 3, jo. Pasal 10 ( 3 ) dinyatakan :
• Wilayah Daerah Propinsi terdiri atas wilayah darat dan wilayah laut sejauh 12 mil laut diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan / atau ke arah perairan kepulauan.
• Kewenangan Daerah Kabupaten dan Kota adalah sejauh sepertiga dari batas wilayah laut Daerah Propinsi.
Sehingga penting sekali arti fisis garis pantai bagi pendefinisian suatu batas di laut Indonesia.
Garis pantai berdasarkan IHO Hydrographic Dictionary (1970) adalah garis pertemuan antara pantai (daratan) dan air (lautan). Walaupun secara periodik permukaan laut selalu berubah, suatu tinggi muka laut tertentu yang tetap dan dapat ditentukan, harus dipilih untuk menjelaskan posisi garis pantai. Pada peta laut biasanya digunakan garis air tinggi (high water line) sebagai garis pantai. Hal ini berbeda sekali dengan garis pangkal dimana yang digunakan adalah garis air rendah (low water line).
Walaupun secara teoritis, garis pantai diambil dari kedudukan garis air tinggi, pada kenyataannya, penentuan garis pantai di lapangan akan menghadapi berbagai kendala, baik yang berkaitan dengan karakteristik pantai maupun teknik-teknik penentuannya. Contoh dari karakteristik pantai berdasarkan unsure pembentuknya, antara lain :
• Pantai Lumpur
• Pantai Pasir
• Pantai Batu/Batu Kersik/Batu Besar
• Pantai Karang/Karang Terjal
• Pantai Curam
• Pantai Pepohonan
• Pantai Rerumputan
• Pantai Buatan
Jika garis pantai yang dimaksud dalam UU No. 22 Tahun 1999 merupakan garis air rendah, maka secara teknis harus dijelaskan juga garis air rendah (low water line) mana yang dipilih. Apakah garis air rendah yang akan dipakai sama dengan muka surutan (chart datum) yang digunakan pada peta-peta navigasi laut yang selama ini dipublikasikan oleh Dinas Hidrografi-Oseanografi (Dishidros) TNI-AL, hingga saat ini belum ada penjelasan tentang hal tersebut. Di tingkat internasional saat ini telah banyak digunakan LAT (Lowest Astronomical Chart) sebagai garis air rendah untuk penarikan batas wilayah laut (garis pangkal). LAT diartikan sebagai permukaan laut terendah yang dapat diprediksi terjadi di bawah kondisi meteorologis rata-rata dan di bawah kondisi berbagai kombinasi astronomis (AHO, 2000). Untuk keperluan ini diperlukan data pasut paling tidak selama satu tahun.
Dalam kaitannya dengan penentuan garis pantai, terlepas dari datum pasut mana yang akan dipakai, kegiatan-kegiatan berikut harus dilakukan di lapangan, yaitu :
• Pemasangan pilar referensi
• Pengukuran titik kerangka dasar
• Survei batimetrik dan topografi pantai
• Pengamatan pasut
Kegiatan selanjutnya berupa penggambaran garis pantai yang dilakukan di atas suatu bidang peta, dimana hal-hal yang berkaitan dengan sistem proyeksi peta, skala, serta datum yang akan digunakan, merupakan pertimbangan awal yang harus diputuskan. Untuk wilayah sekitar ekuator, sistem proyeksi Mercator dianggap paling tepat, juga dapat digunakan TM (Transverse Mercator) untuk peta-peta skala besar (IHO, 1993). Skala peta disarankan sama dengan yang dipakai untuk penataan ruang, yaitu 1 : 250.000 untuk wilayah laut propinsi serta 1 : 50.000 dan 1 : 25.000 untuk wilayah laut kabupaten atau kota. Untuk datum horisontal sebaiknya digunakan World Geodetic System 1984 (WGS-84) sesuai rekomendasi konferensi GALOS (Geodetic Aspects of the Law Of the Sea). [Son Diamar, 2000]
Di samping itu, beberapa hal berikut perlu dipertimbangkan dalam penentuan garis pantai:
• Persyaratan teknis penarikan garis pantai dari titik-titik pantai terluar, untuk kasus propinsi laut yang terdiri dari banyak pulau-pulau kecil.
• Panjang garis pantai lurus maksimal untuk penarikan batas wilayah laut.
• Cara penarikan garis pantai agar tidak menyimpang jauh dari konfigurasi umum topografi pantai.
• Cara penarikan garis pantai pada suatu instalasi yang secara permanen berada di atas permukaan laut (contoh : mercu suar) atau apabila elevasi surut terletak dalam wilayah laut.
• Cara penarikan garis pantai sedemikian rupa sehingga tidak memotong wilayah laut propinsi lain.
b. Titik Pangkal
Titik dasar/titik pangkal merupakan titik koordinat geodetik yang berada pada bagian terluar dari garis air rendah yang akan digunakan sebagai acuan dalam menentukan batas daerah di laut [Djunarsjah, 2000]. Dalam pengukuran jarak ke arah laut dari garis pantai untuk mendefinisikan batas daerah di laut, bila mengikuti alur garis pantai maka semakin banyak titik yang diukur koordinatnya sebagai acuan pengukuran. Oleh karena itu untuk efisiensi penentuan batas di wilayah laut, maka dipilih titik-titik menonjol pada garis pantai sebagai titik dasar atau titik pangkal.
Pada bentukan geografis yang dianggap mewakili bentuk geografis pada daerah wilayah perairan akan didapat tiga bentukan yang paling memungkinkan untuk didapatkan letak titik- titik dasar, yaitu :
• Pantai landai.
• Elevasi surut.
• Pantai Curam/terjal. [Badrun, 1999]
Posisi titik pangkal ditentukan setelah peta batimetri suatu daerah diperoleh. Hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan posisi titik-titik pangkal tersebut adalah :
a. Titik-titik pangkal harus terletak di bagian terluar dari daerah survei dengan memperhatikan letak daerah survey tersebut terhadap konfigurasi umum gugus kepulauan.
b. Titik-titik pangkal harus dipilih pada garis air rendah atau garis nol kedalaman yang dipetakan. Bila kondisi pantai terjal dan dalam, dimana garis nol kedalaman tidak diperoleh, titik-titik pangkal dipilih pada garis pantai atau bibir tebing/garis air permukaan yang bersinggungan dengan daratan, atau dapat juga dipilih pada titik- titik referensi.
c. Posisi titik-titik pangkal diinterpolasi dengan ketelitian koordinat sesuai ketelitian yang tergambar pada skala peta.
d. Posisi titik-titik pangkal dapat dinyatakan dengan koordinat proyeksi (X,Y) atau koordinatgeografi/geodetik(L,B). [Simbolon, 1997].
c. Garis Pangkal
Konsep yang digunakan untuk penetapan batas laut di wilayah propinsi/kabupaten di Indonesia pada dasarnya sederhana, yaitu ketentuan- ketentuan yang ada dalam Konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982 yang berlaku untuk negara pantai diterapkan untuk keperluan penetapan batas laut nasional. Ketentuan ini dapat digunakan karena sejak tahun 1985, Negara Republik Indonesia telah meratifikasi Konvensi Hukum Laut PBB, melalui UU No. 17 serta diperkuat dengan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Dengan demikian, ketentuan yang dibuat berkaitan dengan penetapan batas laut nasional, dipastikan tidak akan melanggar atau bertentangan dengan ketentuan PBB tersebut.
Ketentuan-ketentuan yang tertuang dalam Konvensi Hukum Laut PBB yang dapat dijadikan pedoman penarikan batas laut wilayah kabupaten (dengan beberapa modifikasi) adalah :
• Penentuan batas laut pada dasarnya mengacu pada garis pangkal (dalam UU No. 22 Tahun 1999, disebut sebagai garis pantai).
• Penggunaan prinsip sama jarak dan keadilan untuk penarikan batas dengan daerah lain, baik dalam satu propinsi maupun berbeda propinsi.
• Garis pangkal untuk mengukur lebar laut wilayah kabupaten sejauh empat mil laut, harus dicantumkan dalam peta dengan skala yang memadai atau dalam bentuk koordinat geografis.
• Garis pangkal terdiri dari garis pangkal normal dan garis pangkal lurus.
• Garis pangkal normal (lihat Gambar 1) terlihat sebagai adalah garis air rendah sepanjang pantai sebagaimana terlihat pada peta skala terbesar yang diakui resmi oleh negara.
• Untuk pulau yang mempunyai karang- karang di sekitarnya, maka garis pangkal terletak pada garis air rendah pada sisi karang ke arah laut yang ditunjukkan secara jelas pada peta laut yang resmi.
Garis pangkal lurus digunakan dimana garis pantai menjorok jauh ke dalam dan menikung ke dalam atau jika terdapat suatu deretan pulau sepanjang pantai di dekatnya (lihat Gambar 2).
Gambar 2 : Garis Pangkal Lurus
Garis pangkal yang melintasi sungai adalah suatu garis lurus antara titik-titik pada garis air rendah kedua tepi sungai (lihat Gambar 3).
Gambar 3 : Garis Penutup Sungai
Suatu lengkungan pantai dianggap sebagai teluk, apabila luas teluk sama atau lebih luas dari luas setengah lingkaran yang mempunyai garis tengah melintasi mulut lekukan tersebut (lihat Gambar 4).
Apabila lekukan mempunyai lebih dari satu mulut, maka setengah lingkaran dibuat pada suatu garis yang panjangnya sama dengan jumlah keseluruhan panjang garis yang melintasi berbagai mulut tersebut.
Gambar 4 : Pengertian Teluk
Garis pangkal yang melintasi teluk adalah suatu garis lurus antara titik-titik pada garis air rendah pada pintu masuk alamiah suatu teluk yang panjangnya tidak melebihi 12 mil laut (lihat Gambar 5).
Gambar 5 : Garis Penutup Teluk
Apabila jarak antara garis air rendah melebihi 12 mil laut, maka suatu garis lurus yang panjangnya 12 mil laut ditarik dalam teluk tersebut, sehingga menutup suatu daerah perairan yang maksimum.
Untuk garis pangkal yang melewati pelabuhan laut permanen, maka bagian terluar dari pelabuhan dianggap sebagai bagian integral dari pantai.
Penutup
Otonomi daerah telah memberikan dampak yang positif pada suatu pemerintah daerah. Dengan adanya otonomi daerah ini pemerintah daerah memiliki kewenangan penuh untuk melaksanakan pembangunan daerahnya serta pemanfaatan sumber dayanya terutama sumber daya kelautan. Untuk itu pendefinisian batas laut yang jelas dan tepat sangat diperlukan.
Dalam penentuan batas di laut melibatkan aspek teknis dan non teknis. Secara teknis, penentuan batas suatu wilayah terdiri atas dua kegiatan utama yaitu pendefinisian batas dan perekonstruksiannya di lapangan. Sebelum memberikan definisi dan merekonstruksi batas-batas tersebut terlebih dahulu harus didefinisikan titik atau pun garis dalam penarikan batas wilayah daerah dalam hal ini adalah batas wilayah laut.
Daftar Pustaka
Dahuri R, Rais J,Ginting SP, Sitepu MJ. 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir
dan Laut Secara Terpadu. Pradnya Paramita. Jakarta.
Parenrengi S. 2001. United Nation Covention on The Law of The Sea (UNCLOS 1982) dan Undang-Undang No.22 tahun 1999.
Kumpulan Makalah Integrated Coastal Zone Planning and Management. 2001. PKSPL- IPB.
Soendjojo H. 2001. Penentuan Batas Daerah dan Beberapa Aspek Permasalahannya : Makalah.
Diamar S. 2001. Kadaster Kelautan : Makalah disampaikan pada Forum URDI.
Undang-Undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah.
izin bertanya, itu gambarnya sumbernya dari mana ya?
BalasHapus